Tax ratio adalah suatu indikator yang biasa digunakan untuk menggambarkan kemampuan Pemerintah dalam mengumpulkan penerimaan pajak atau kapasitas Pemerintah menggali penerimaan pajak. Secara matematis tax ratio merupakan pembagian antara jumlah pajak yang diterima dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto (PDB). Persentase ini menunjukkan seberapa besar peran nilai pajak yang diterima dari adanya hasil peningkatan produktivitas negara selama satu tahun.
Selama bertahun-tahun pajak merupakan penerimaan terbesar yang diterima oleh negara dalam postur Anggaran Pedapatan Belanja Negara (ABPN) Indonesia. Berdasarkan nota keuangan target penerimaan negara dari perpajakan pada tahun 2023 misalnya berada pada angka Rp2.021.223.7 miliar dari total target pendapatan negara sebesar Rp.2.463.024,9 miliar sehingga dengan kata lain lebih dari 80 persen penerimaan negara diharapkan bisa didapatkan dari penerimaan perpajakan.
Target tax ratio pemerintah pada tahun 2023 diproyeksi mengalami penurunan yaitu sebesar 9.61 persen dimana pada tahun 2022 tax rationya mencapai angka 10.38 persen. Indonesia sebagai negara berkembang dengan tingkat perdapatan per-kapita US$4.140 masih dikategorikan sebagai negara dengan tingkat pendapatan menengah ke bawah (lower middle income), namun jika dibandingkan dengan negara lain yang tingkat pendapatannya masuk ke dalam kategori ini maka tax ratio Indonesia masih jauh lebih rendah. Negara Filipina dan Vietnam mencapai nilai tax ratio masing-masing sebesar 12.8 persen dan 12.9 persen pada tahun 2022 yang berarti menunjukan bahwa kapasitas penggalian pajak di Indonesia masih tertinggal dari negara-negara berpendapatan menengah ke bawah lainnya. Selain dua negara Asean tersebut jika dibandingkan dengan negara-negara OECD makan tax ratio Indonesia lebih jauh lagi dibawah karena mayoritas negara-negara tersebut memiliki tax ratio diatas 33 persen.
Di sisi lain selama lima tahun terakhir target penerimaan Pajak Indonesia terus mengalami kenaikkan. Meskipun realisasinya mengalami fluktuasi namun jika ditinjau dari nilai tax ratio maka perkembangan nilainya mengalami kecenderungan penurunan. Tax ratio pada 2018 misalnya berada pada angka 10.24 persen sementara di tahun 2019 dan 2020 mengalami penurunan di angka 9.76 persen dan 8.33 persen, pada tahun 2021 dan 2022 mengalami kenaikkan di angka 9.11 persen dan 10.38 persen namun kembali di proyeksi akan mengalami penurunan di tahun 2023. Hal ini diperkuat dengan data elastisitas penerimaan pajak (tax buoyancy) yang juga mengalami penurunan di tahun 2023. Melempemnya tax ratio menggambarkan masih banyak potensi penerimaan pajak yang tidak mampu dikelola oleh Pemerintah secara baik karena adanya ketidaksesuaian tarif pajak, rendahnya tingkat pendapatan per kapita, dan tingkat optimalisasi tata laksana pemerintahan yang kurang baik. Sedangkan faktor-faktor eksternal adalah tingkat kepatuhan Wajib Pajak (WP), rendahnya komitmen membayar pajak, koordinasi antar lembaga negara, serta ketidaksamaan persepsi antara WP dan petugas pajak. Diluar faktor-faltor tersebut rendahnya tax ratio juga bisa diakibatkan karena masih banyaknya aktivitas shadow economy yang sulit untuk dikenakan pajak misalnya karena melakukan aktivitas di luar negeri, aktivitas digital yang sulit dikenaik pajak ataupun karena adanya terutang pajak yang tidak dibayar sehingga meskipun potensinya tinggi hal tersebut tidak mendorong kenaikkan penerimaan pajak yang signifikan. Faktor yang disebutkan sebelumnya selain menjadi penyebab rendahnya tax ratio juga menggambarkan bahwa sebetulnya potensi penerimaan pajak yang bisa digali dan diupayakan sebagai penerimaan negara masing sangat tinggi sehingga dapat dibayangkan jika aktivitas ini berjalan berakselerasi dengan cepat tanpa adanya rem berupa penetapan pajak maka fungsi redistribusi yang seharusnya menjadi katalisator bagi stabilitas perekonomian tidak akan berjalan dengan maksimal.
Ditengah ketidakpastian global kestabilan kondisi ekonomi nasional menjadi prasyarat penting untuk menjamin bahwa tingkat pertumbuhan dan pembangunan ekonomi akan tercapai sesuai dengan targetnya. Ketercapaian penerimaan negara termasuk dari pajak akan menentukan apakah rencana kerja pemerintah yang sudah disusun dapat dibiayai sesuai anggaran yang dibutuhkan atau tidak. Meskipun penerimaan negara juga disusun dengan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan hibah namun persentasenya jauh lebih kecil dari penerimaan sektor perpajakan.
Dalam teori ekonomi kebijakan fiskal bersama-sama dengan kebijakan moneter yang tepat merupakan senjata konvensional yang biasa digunakan oleh pemerintah di berbagai negara untuk menjaga kestabilan ekonomi. Tingkat kestabilam ekonomi biasanya ditunjukan dengan kemampuan mengelola tingkat inflasi berada pada nilai target yang sesuai dengan anchor-nya , Tingkat inflasi yang tinggi biasanya ditekan dengan menaikkan tingkat pajak dan suku bunga sehingga pendapatan disposible masyarakat menurun dan mendorong penurunan tingkat konsumsi sehingga inflasi menjadi lebih terkendali, sebaliknya kebijakan fiskal dengan menurunkan tingkat pajak dan tingkat suku bunga biasa digunakan untuk menghidupkan kembali kondisi perekonomian yang lesu karena akan menaikkan tingkat konsumsi masyarakat.
Selama beberapa tahun kecuali pada saat pandemic covid-19 tahun 2020 tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia terus mengalami kenaikkan. Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini menunjukkan bahwa Indonesia mampu meningkatnya produktivitas barang dan jasa yang artinya potensi tax ratio diharapkan akan terus meningkat dari waktu ke waktu. Dari sisi teoritis peningkatan produktivitas barang dan jasa ini biasanya akan menyebabkan inflasi apabila tidak diimbangi kebijakan yang mempengaruhi tingkat pendapatan masyarakat, maka selain mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi sudah sewajarnya pemerintah dan masyarakat juga mendorong tingkat penerimaan pajak karena sejatinya tax ratio yang sehat akan menunjukkan hubungan positif searah antara kedua variable tersebut. Kenaikkan produktivitas barang dan jasa yang diimbangi dengan effort menarik tingkat pajak yang sesuai akan menyebabkan kenaikan produktivitas tersebut berada pada kondisi inflasi yang terkendali sehingga siklus bisnis dalam perekonomian akan berada pada kondisi yang stabil. Dengan kata lain jika tax ratio dibiarkan rendah sementara tingkat pertumbuhan ekonomi terus mengalami kenaikkan hal ini sama dengan membiasakan potensi penerimaan pajak hilang dan aktivitas produksi yang potensial tidak menghasilkan redistribusi yang maksimal. Padahal redistribusi pendapatan merupakan salah satu efek yang dihasilkan dari pengelolaan pajak yang memiliki dampak terhadap kemerataan dan tingkat kestabilan ekonomi karena memiliki saluran paling cepat melalui belanja subsidi dan bantuan sosial yang mayoritas dibiayai dari pajak.
Pada akhirnya keterampilan pemerintah dalam menetapkan kebijakan pajak yang sesuai dengan siklus bisnis serta kesadaran wajib pajak akan pentingnya pajak yang mereka bayarkan akan menjadi kombinasi yang baik agar potensi aktivitas ekonomi yang tinggi ini bukan hanya mendorong pertumbuhan namun juga menjaga kestabilan ekonomi serta menjadi sumber kas utama dalam pembangunan sosial dan infrastruktur Indonesia. Maka tax ratio yang sehat adalah suatu kewajiban yang harus di kejar dan diupayakan agar aktivitas produksi tetap berada pada koridor yang stabil dan memberikan manfaat signifikan untuk pembangunan perekonomian Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H