Lihat ke Halaman Asli

Syahiduz Zaman

TERVERIFIKASI

UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Berbenah atau Binasa, Saatnya Menyatakan Perang terhadap Korupsi

Diperbarui: 31 Januari 2025   05:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi korupsi. (Sumber: Canva.com)

Pernah ada seorang cendekiawan Muslim yang mengatakan bahwa minuman keras adalah hal yang lazim, tidak perlu dipermasalahkan. Ia melihat bagaimana peradaban di dunia Barat berkembang pesat, dan dalam kehidupan mereka, alkohol adalah bagian dari keseharian, bahkan dikonsumsi oleh para profesor dan ilmuwan. Tetapi waktu berjalan, dan realitas berbicara lebih keras dari argumen akademis. Kematian akibat minuman keras oplosan menjadi berita rutin, kecelakaan lalu lintas akibat pengemudi mabuk merenggut nyawa yang tak terhitung jumlahnya. Akhirnya, cendekiawan itu meralat ucapannya. Ia sadar, sesuatu yang tampak biasa di suatu tempat tidak selalu benar bagi masyarakat lain. Kebiasaan yang tampak sepele bisa berujung pada tragedi.

Perenungan ini membawa kita pada masalah yang jauh lebih kompleks dan mengakar dalam kehidupan berbangsa: korupsi. Setiap hari, kita disuguhkan berita tentang pejabat yang tertangkap tangan, dari kasus kecil hingga skandal besar yang mengguncang negeri. Politisi bergantian berjanji memberantas korupsi, tetapi kenyataannya, praktik ini tetap subur. Bahkan, korupsi berkembang semakin canggih, semakin rapi, seolah sistem itu sendiri mengakomodasi kejahatan ini.

Lebih menyedihkan lagi, mentalitas memperkaya diri di kalangan pejabat semakin lazim, seakan-akan itu bagian dari budaya birokrasi. Pemilihan umum yang seharusnya menjadi sarana demokrasi justru menjadi ladang money politic. Uang menentukan segalanya, dan ketika hukumannya ringan, korupsi menjadi investasi. Bahkan hakim yang seharusnya menegakkan keadilan pun bisa dibeli. Sungguh ironi.

Seperti halnya minuman keras, korupsi tampak tidak langsung menelan korban jiwa. Tetapi benarkah demikian? Kita jarang melihat berita tentang orang mati langsung karena korupsi, tetapi di balik angka-angka anggaran yang dikorupsi, ada rakyat kecil yang kehilangan haknya. Ada anak-anak yang kelaparan karena anggaran bantuan sosial diselewengkan. Ada pasien yang kehilangan nyawa karena rumah sakit kekurangan fasilitas akibat dana kesehatan yang diembat oleh segelintir orang serakah. Ada siswa yang duduk di kelas bobrok karena dana pendidikan dikorupsi. Korupsi memang tidak membunuh dalam hitungan detik, tetapi perlahan, ia mencekik kehidupan bangsa.

Kita melihat bagaimana anggaran negara sering kali dikelola dengan cara yang tidak masuk akal. Ada pengadaan lampu penerangan yang menelan puluhan miliar hanya untuk gedung pemerintahan, ada dana ratusan miliar untuk kendaraan dinas, sementara rakyatnya kesulitan mendapatkan akses transportasi yang layak. Pendapatan pajak triliunan rupiah hanya sebagian kecil yang kembali ke masyarakat. Jika korupsi bisa dihapus, negara ini akan lebih sejahtera.

Namun, apakah kita benar-benar serius ingin memberantas korupsi? Kita sering marah saat membaca berita korupsi, tetapi di sisi lain, banyak dari kita yang masih terbiasa dengan perilaku permisif terhadap praktik-praktik kecurangan kecil. Banyak yang menutup mata terhadap ketidakjujuran selama mereka mendapatkan manfaat. Inilah yang membuat korupsi seperti penyakit menular yang sulit dihilangkan.

Kita sering berpikir bahwa korupsi hanyalah persoalan hukum dan politik. Padahal, lebih dari itu, ini adalah persoalan moral, persoalan nilai, persoalan keberanian untuk menegakkan kejujuran. Tanpa kejujuran, hukum hanyalah teks di atas kertas, dan agama hanya sebatas formalitas tanpa makna.

Ada yang berpendapat bahwa agama tidak harus menjadi solusi. Mereka berkata, cukup dengan memperkuat moral, korupsi bisa diberantas. Tetapi tanpa nilai-nilai agama yang kokoh, moral pun kehilangan pegangan. Kita bisa melihat bagaimana moral sering dikorbankan demi kepentingan pribadi. Betapa banyak yang berbicara tentang integritas, tetapi ketika dihadapkan pada godaan materi, semua prinsip lenyap dalam sekejap.

Lalu, bagaimana seharusnya kita berbenah? Menyelesaikan masalah ini tentu bukan perkara mudah. Tidak cukup hanya mengandalkan satu atau dua orang pemimpin yang bersih. Tidak cukup hanya mengandalkan lembaga hukum. Kita membutuhkan kesadaran kolektif, sebuah gerakan moral yang lahir dari hati setiap individu. Kita perlu kembali pada nilai-nilai yang mendidik kita untuk jujur, amanah, dan bertanggung jawab. Kita perlu membangun sistem yang benar-benar menutup celah bagi korupsi sekecil apa pun.

Bangsa ini masih punya harapan. Seperti halnya seorang cendekiawan yang akhirnya menyadari kesalahannya dalam menilai minuman keras, kita pun bisa belajar dari kesalahan kita dalam memahami dan menoleransi korupsi. Jika kita sepakat bahwa korupsi adalah musuh bersama, jika kita serius menegakkan nilai-nilai kejujuran, jika kita berani mengatakan tidak pada praktik money politic dan suap, maka perubahan bisa terjadi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline