Lihat ke Halaman Asli

Syahiduz Zaman

TERVERIFIKASI

UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Menghidupkan Simbol, Menjaga Makna: Pakaian Adat di Tengah Arus Modernitas

Diperbarui: 18 Januari 2025   05:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi simbol dan makna. (Sumber: Programmerhumor.io)

Bayangkan sebuah kartun yang menggambarkan tiga programmer masuk ke sebuah bar. Salah satu dari mereka mengacungkan dua jari dan berkata, "Three beers!" Sang bartender bingung. Bagaimana bisa dua jari berarti tiga bir? Tentu saja, ini adalah lelucon bagi programmer yang akrab dengan logika biner. Namun, di balik humor ini, ada pelajaran mendalam: simbol, tanpa pemahaman konteks, bisa kehilangan maknanya.

Kartun ini ternyata memiliki filosofi yang relevan dengan dinamika pelestarian budaya, khususnya dalam hal pakaian adat. Sama seperti "dua jari" di dunia programmer yang memiliki makna khusus, pakaian adat juga adalah simbol budaya yang sarat nilai. Namun, seperti bartender yang bingung menghadapi logika biner, pakaian adat juga bisa kehilangan maknanya ketika tidak dipahami dalam konteks tradisionalnya. Pertanyaannya adalah, bagaimana kita menjaga makna pakaian adat di tengah arus modernitas?

Pemakaian tanjak melayu pada peringatan HUT RI di kabupaten Natuna. (Sumber: TribunBatam.id/Muhammad Ilham)

Pakaian Adat: Lebih dari Sekadar Kain

Pakaian adat, dari tanjak Melayu hingga kebaya Jawa, bukan sekadar pelengkap busana. Ia adalah simbol kehormatan, identitas, dan sejarah. Dalam masyarakat Melayu, misalnya, tanjak melambangkan marwah dan tanggung jawab pemakainya. Setiap lipatan memiliki filosofi yang diwariskan turun-temurun, mencerminkan kebijaksanaan dan nilai-nilai luhur masyarakatnya. Begitu pula kebaya, ulos, atau blangkon -- masing-masing menyimpan cerita budaya yang dalam.

Namun, ada risiko besar di era modern: pakaian adat hanya menjadi simbol kosong. Sama seperti "dua jari" dalam kartun yang kehilangan makna di luar konteksnya, pakaian adat juga bisa beralih fungsi menjadi sekadar 'aksesori fesyen' tanpa memahami nilai simboliknya. Generasi muda cenderung melihat pakaian adat sebagai sesuatu yang "kuno" atau "tidak relevan," bahkan hanya dipakai untuk acara resmi tanpa pemahaman filosofis.

Macam-macam kebaya. (Sumber: Bcaf.telkomuniversity.ac.id)

Perspektif Sosiologi: Teori Fungsionalisme Struktural dan Interaksionisme Simbolik

Dalam konteks ini, teori fungsionalisme struktural dan interaksionisme simbolik dapat membantu kita memahami tantangan pelestarian pakaian adat. Teori fungsionalisme struktural memandang pakaian adat sebagai bagian penting dari sistem sosial yang membantu menjaga keteraturan. Pakaian adat bukan sekadar kain, tetapi instrumen untuk menciptakan harmoni sosial, memperkuat identitas kolektif, dan mengajarkan nilai-nilai budaya kepada masyarakat.

Sebagai contoh, kebijakan di Kabupaten Natuna yang mewajibkan ASN memakai tanjak adalah langkah nyata dalam perspektif ini. Kebijakan ini tidak hanya melestarikan budaya tetapi juga memperkuat rasa kebanggaan kolektif terhadap identitas lokal. Namun, kebijakan seperti ini harus diiringi dengan edukasi yang memadai. Jika tidak, penggunaan tanjak bisa menjadi sekadar "tugas formal" tanpa pemahaman mendalam tentang nilai-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya.

Sementara itu, teori interaksionisme simbolik menekankan pentingnya simbol dalam menciptakan makna melalui interaksi sosial. Pakaian adat memiliki makna yang ditentukan oleh bagaimana masyarakat memaknainya. Ketika simbol itu digunakan tanpa pemahaman, ia menjadi kosong. Sama seperti "dua jari" dalam kartun yang gagal diterjemahkan oleh bartender, pakaian adat tanpa narasi budaya hanya akan menjadi pakaian indah tanpa makna.

Tantangan Modernitas: Simbol yang Terancam Kosong

Arus globalisasi dan modernisasi membawa tantangan besar bagi pelestarian pakaian adat. Dalam banyak kasus, pakaian adat lebih sering dipandang sebagai bagian dari fesyen atau formalitas, bukan sebagai simbol yang sarat nilai. Misalnya, dalam acara pernikahan adat, pakaian tradisional sering dipilih karena "terlihat bagus di foto," bukan karena pemahaman terhadap nilai historis atau filosofisnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline