Lihat ke Halaman Asli

Syahiduz Zaman

TERVERIFIKASI

UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Relativitas Moral: Lebih Penting Persatuan Daripada Kebenaran

Diperbarui: 22 Desember 2024   18:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi perumahan mewah. (Gambar dibuat dengan Bing AI Image Creator)

A, B, C, dan D adalah tetangga di sebuah klaster perumahan mewah. A seorang pengusaha sukses, B seorang pejabat tinggi, C seorang dosen idealis, dan D seorang maling yang dikenal licik. Mereka hidup berdampingan, tetapi suatu hari muncul konflik kecil yang membuka sisi gelap dinamika sosial mereka.

C, dosen yang dikenal suka berbicara blak-blakan, mendatangi D di taman klaster. Dengan nada tegas, ia berkata, "Hai D, aku tahu kamu maling. Tolong jangan maling di rumahku, ya."

Mendengar itu, A dan B yang kebetulan ada di dekat lokasi langsung memprotes keras. "Kata-katamu itu melanggar Hak Asasi Manusia!" sergah A dengan nada penuh emosi. "Semua orang punya hak untuk melakukan apapun, termasuk maling. Kamu tidak bisa mendiskriminasi D hanya karena pekerjaannya."

B, yang sering tampil sebagai pembela keadilan di forum-forum tetangga, ikut menimpali, "Benar! D juga punya SOP (Standar Operasional Prosedur) dan keyakinan dalam menjalankan pekerjaannya. Jangan sampai komentar seperti itu memecah belah persatuan kita di klaster ini."

Tak lama kemudian, keributan itu menarik perhatian tetangga lainnya. Mereka berkumpul di sekitar taman, bukan untuk mendukung C, melainkan untuk menghakiminya. Salah satu tetangga berteriak, "Jangan sok suci, C. Kamu sendiri belum tentu bersih dari dosa."

"Betul, lagi pula, kalau kamu kikir bin pelit, ya wajar jadi sasaran maling," tambah tetangga lain. Komentar-komentar seperti "jangan sok pintar" dan "jangan suka menilai orang lain" terus bermunculan, membuat suasana semakin panas.

Akhirnya, salah satu tetangga mengeluarkan kalimat pamungkas, "Kalau nggak suka tinggal di klaster ini, pindah saja ke planet lain."

Di tengah semua kekacauan itu, D, si maling, hanya duduk santai di pojok taman sambil menikmati kopi instannya. Dalam hati, ia bergumam, "Oke sip, banyak rumah yang siap aku malingi. Terima kasih sudah mempermudah pekerjaanku."

***

Cerita ini, meskipun fiktif, mencerminkan fenomena sosial yang tidak asing dalam kehidupan sehari-hari. Ketika yang salah justru dibela, yang benar malah disalahkan, dan yang seharusnya menjadi fokus justru diabaikan. Dalam masyarakat, relativitas moral sering kali menjadi perisai untuk membenarkan kesalahan atau kejahatan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline