Lihat ke Halaman Asli

Syahiduz Zaman

TERVERIFIKASI

UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Bahasa, Simbol, dan Moralitas

Diperbarui: 16 Desember 2024   05:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi kaum puritan yang konservatif. (Sumber: Bizzaro.com

Kartun sederhana dari Bizarro Comics yang menggambarkan seorang Puritan memesan "paha" dan "dada" kalkun memuat lebih dari sekadar humor. Kartun ini adalah cermin tajam terhadap konservatisme berlebihan dalam masyarakat, terutama dalam menyikapi bahasa dan simbol. Bagi seorang sosiolinguistik, pesan yang terkandung di balik komik ini menjadi pijakan penting untuk menganalisis bagaimana moralitas, bahasa, dan budaya saling bertautan, menciptakan interpretasi yang kerap menjauh dari esensi sebenarnya.

Bahasa dan Relativitas Makna

Bahasa adalah produk budaya dan sarana komunikasi yang bersifat arbitrer. Kata "paha" dan "dada", dalam konteks kuliner, merujuk pada bagian tubuh unggas. Namun, dalam kartun tersebut, kata-kata ini menjadi tabu karena konotasi seksual yang dilekatkan secara kultural. Kaum Puritan dalam sejarah dikenal sangat ketat dalam menyikapi simbol dan bahasa yang dianggap menyimpang dari moralitas mereka. Alih-alih memahami makna harfiah, mereka justru mempersempit bahasa menjadi sesuatu yang penuh prasangka.

Hal ini menunjukkan bagaimana relativitas makna bekerja dalam masyarakat. Makna suatu simbol atau kata tidak melekat pada objek itu sendiri, tetapi dibentuk oleh konteks sosial dan kultural di mana ia digunakan. Ferdinand de Saussure, bapak linguistik modern, telah menegaskan bahwa hubungan antara signifier (penanda) dan signified (petanda) bersifat arbitrer. Dengan kata lain, kata-kata seperti "paha" dan "dada" hanya menjadi tabu ketika masyarakat memberi beban moralitas yang berlebihan terhadapnya.

Dalam konteks kartun ini, konservatisme Puritan menciptakan makna simbolis yang bertolak belakang dengan fungsi komunikatif bahasa. Sikap ini menghambat pemahaman yang lebih jernih dan esensial terhadap realitas. Bahasa, yang seharusnya menjadi alat komunikasi netral, justru menjadi sarana untuk menghakimi, membatasi, dan menciptakan rasa bersalah.

Moralitas Berbasis Simbol: Konservatisme yang Semu

Kartun ini juga mengkritik moralitas yang berbasis pada simbol, bukan substansi. Sikap kaum Puritan dalam cerita tersebut adalah refleksi dari bagaimana moralitas kerap diterapkan secara dangkal dalam masyarakat. Konservatisme moral yang berlebihan cenderung fokus pada aspek permukaan, seperti bahasa dan simbol, alih-alih pada substansi tindakan.

Misalnya, ketika seorang Puritan dalam komik itu memesan "paha" dan "dada", istrinya langsung bereaksi dengan ekspresi kaget, menandakan adanya penilaian moral terhadap kata-kata tersebut. Reaksi ini menggambarkan prudishness (kepuritan) yang menghambat kebebasan berbahasa dan berpikir. Padahal, dalam konteks aslinya, tidak ada yang salah dengan menyebut bagian tubuh ayam atau kalkun sebagai "paha" dan "dada".

Moralitas semu seperti ini masih sering kita jumpai dalam kehidupan modern. Di era digital, misalnya, simbol-simbol tertentu mudah dikritik atau disalahartikan oleh kelompok konservatif, tanpa mempertimbangkan konteks sebenarnya. Fenomena ini menunjukkan bagaimana simbol bisa kehilangan makna orisinalnya akibat prasangka moral yang berlebihan.

Bahasa, Kekuasaan, dan Kontrol Sosial

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline