Dana abadi LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) yang terus meningkat dari tahun ke tahun hingga mencapai Rp139 triliun pada 2023 (lihat infrografis) tentu menjadi kebanggaan tersendiri bagi Indonesia.
Angka yang fantastis ini mencerminkan komitmen besar pemerintah dalam mendukung pendidikan tinggi dan memberikan kesempatan bagi generasi muda untuk melanjutkan studi baik di dalam maupun luar negeri. Namun, di balik kebanggaan tersebut, ada pertanyaan penting yang perlu kita ajukan: apakah alumni LPDP benar-benar memberikan dampak balik yang signifikan pada masyarakat?
Kita sering mendengar kisah sukses para penerima beasiswa LPDP, yang berhasil lulus dari universitas ternama dan bekerja di perusahaan besar, atau bahkan berkarir di pemerintahan. Banyak dari mereka berhasil mencapai kesuksesan pribadi yang mengesankan, tetapi sejauh mana keberhasilan ini berkontribusi pada masyarakat luas? Apakah investasi besar yang dikeluarkan LPDP sebanding dengan dampak yang dihasilkan oleh para alumninya?
1. Dari Individu Berprestasi Menjadi Agen Perubahan
LPDP, pada dasarnya, bukan sekadar program beasiswa; ia dimaksudkan untuk mencetak pemimpin dan agen perubahan. Namun, menjadi agen perubahan bukan hal mudah. Selain kemampuan akademis, dibutuhkan keterampilan kepemimpinan, empati, dan komitmen yang kuat untuk berkontribusi pada masyarakat. Sering kali, alumni LPDP lebih sibuk mengejar prestasi dan karir pribadi yang menjanjikan ketimbang berperan aktif di masyarakat. Apakah kita berlebihan berharap mereka, yang sukses dengan dukungan dana negara, secara otomatis akan merasa terikat moral untuk memberikan kontribusi kembali?
Banyak alumni LPDP yang berkarier di sektor swasta atau bekerja di luar negeri, di mana mereka menikmati gaji tinggi dan standar hidup yang nyaman. Tentu, tidak ada yang salah dengan itu, tetapi pilihan ini sering kali tidak berbanding lurus dengan kontribusi nyata terhadap masyarakat Indonesia. Jadi, apakah mereka benar-benar merasa berkewajiban untuk memberikan dampak balik? Apakah mereka pulang ke Indonesia setelah mencapai puncak karir, ataukah mereka justru semakin jauh dari masyarakat yang membiayai pendidikan mereka?
2. Hambatan Struktural dalam Menyalurkan Dampak
Pemerintah dan LPDP tentu mengharapkan para alumni untuk berkontribusi kembali kepada masyarakat, baik dalam bentuk kerja nyata, inovasi, atau keterlibatan sosial. Namun, tidak semua alumni memiliki jalur atau dukungan yang memadai untuk mewujudkan tujuan mulia ini. Seringkali, alumni yang ingin berkontribusi menghadapi kendala birokrasi, minimnya dukungan, dan bahkan ketidaksesuaian antara keahlian mereka dengan kebutuhan lokal.
Contoh sederhananya adalah ketika alumni LPDP yang ahli dalam teknologi dan inovasi berusaha menerapkan solusi digital untuk memecahkan masalah di daerah tertinggal. Alih-alih didukung, mereka malah dihadapkan pada kendala infrastruktur dan resistensi dari pemerintah setempat yang belum siap menerima perubahan. Apakah LPDP sudah menyediakan kerangka yang memadai agar alumni dapat berkontribusi secara efektif di lapangan? Ataukah LPDP hanya mengirim mereka ke luar negeri tanpa rencana strategis untuk memanfaatkan ilmu dan pengalaman mereka sepulangnya?
3. Ketimpangan dalam Persepsi Dampak
Ada juga ketimpangan antara apa yang dianggap "dampak balik" oleh alumni dan harapan masyarakat. Bagi sebagian alumni, bekerja di perusahaan multinasional dan membawa nama baik Indonesia sudah dianggap kontribusi. Namun, bagi masyarakat luas, kontribusi yang nyata adalah ketika mereka terlibat langsung dalam peningkatan kualitas hidup di komunitas setempat. Sayangnya, banyak alumni yang lebih memilih jalur karir di perkotaan atau bahkan luar negeri, sehingga dampak langsung pada masyarakat sering kali tidak terasa.
Apakah sekadar "berprestasi di luar negeri" cukup untuk dianggap sebagai kontribusi bagi bangsa? Apakah kita terlalu mudah menganggap keberhasilan individu sebagai keberhasilan kolektif? Jika iya, mungkin kita perlu mempertimbangkan kembali bagaimana kita menilai dampak balik dari program LPDP ini.