Kita hidup di zaman di mana setiap momen seakan tidak sah jika tidak dipublikasikan. Foto-foto ulang tahun, hari pertama sekolah, atau sekadar tingkah lucu si kecil seolah wajib menghiasi feed media sosial orang tua.
Fenomena ini, dikenal sebagai sharenting---gabungan kata "share" dan "parenting"---telah menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian keluarga modern.
Namun, semakin banyak orang tua dan pakar mulai menyadari, mungkin saatnya kita berkata, "Sudah cukup." Risikonya tidak sepele.
Apa yang kita unggah hari ini mungkin masih akan ada di internet hingga bertahun-tahun ke depan.
Setiap foto anak yang terlihat lucu atau membanggakan bagi kita, bisa menjadi sumber rasa malu atau bahkan trauma di masa depan bagi anak kita sendiri.
Beberapa penelitian dan ahli, termasuk Leah Plunkett, penulis buku Sharenthood, menekankan bahwa risiko ini diperparah dengan berkembangnya teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) dan pengenalan wajah.
Foto-foto anak dapat dengan mudah direplikasi atau dimanipulasi oleh AI untuk tujuan komersial maupun kejahatan siber.
Selain itu, beberapa kasus menunjukkan bahwa foto anak-anak di media sosial dapat memicu pelecehan daring atau bahkan eksploitasi.
Platform seperti TikTok dan Instagram penuh dengan contoh kasus di mana konten anak mendapat tanggapan tidak pantas, memperlihatkan betapa rapuhnya perlindungan privasi di ranah digital.
Tragisnya, bukan hanya selebritas, tetapi juga anak-anak biasa menjadi korban penyalahgunaan data dan perdagangan anak di media sosial.