Pendidikan di Indonesia sedang berada di persimpangan kritis. Fenomena yang terlihat dalam kartun "Incompetence" karya Kuang Zuhai---dengan siswa berwajah kipas angin dan guru berwajah lilin yang padam---mencerminkan kenyataan yang kian nyata di sekolah dasar dan menengah kita: siswa yang hadir tanpa fokus dan guru yang akhirnya mengalami burnout (baca: Rri.co.id, 26/08/2024).
Banyak berita dan informasi menunjukkan bahwa siswa Indonesia mengalami stagnasi dalam keterlibatan belajar. Fenomena ini diperparah oleh pengalaman belajar daring selama pandemi beberapa tahun lalu, di mana anak-anak kehilangan kedisiplinan dan minat belajar. Mereka hadir di sekolah bukan untuk menyerap ilmu, tetapi sekadar menjalani rutinitas.
Beberapa survei menemukan bahwa siswa merasa jenuh dan tertekan dengan beban kurikulum yang padat, bahkan setelah kembali ke sekolah tatap muka. Anak-anak sering kali merasa tugas-tugas yang diberikan tidak relevan atau terlalu sulit, sehingga mereka memilih untuk pasif. Kondisi ini memperkuat stereotip bahwa siswa hanya "hadir" secara fisik, namun mental dan emosional mereka tidak terlibat secara aktif dalam proses belajar.
Seperti terlihat dalam kartun, kepala kipas angin siswa menggambarkan pikiran yang berputar tanpa hasil, seolah-olah segala yang mereka lakukan hanya formalitas belaka. Ini mencerminkan bagaimana rutinitas pendidikan di Indonesia sering kali terjebak dalam orientasi hasil (output-oriented), di mana keberhasilan hanya diukur dengan nilai dan angka, bukan pada pemahaman atau partisipasi aktif siswa. Dalam kondisi seperti ini, motivasi dan inisiatif siswa tenggelam.
Di sisi lain, guru di Indonesia menghadapi beban mental yang besar. Banyak yang mengalami burnout, yaitu kelelahan fisik dan emosional karena tekanan pekerjaan yang terus-menerus. Guru tidak hanya dituntut untuk mengajar, tetapi juga harus menangani masalah non-akademik siswa, seperti kesehatan mental dan kurangnya motivasi. Dalam situasi ini, guru sering merasa kehabisan energi dan semangat---seperti lilin yang padam setelah terbakar habis untuk memberikan cahaya.
Berbagai berita dan informasi menunjukkan bahwa burnout pada guru diperparah oleh kurangnya dukungan dan apresiasi, baik dari siswa maupun dari institusi pendidikan. Guru merasa bahwa upaya mereka untuk menciptakan lingkungan belajar yang efektif sering kali tidak direspon dengan baik oleh siswa, yang tetap apatis dan tidak fokus. Ini menjelaskan postur guru dalam kartun yang berjalan lesu dan pasrah, meninggalkan ruang kelas dengan rasa frustasi dan kekecewaan mendalam.
Kartun ini menggambarkan paradoks ironis: ketika siswa-siswa semakin apatis, guru semakin berusaha keras untuk memotivasi mereka. Namun, alih-alih menghasilkan perubahan positif, upaya ini justru mempercepat kelelahan emosional guru. Akhirnya, guru seperti lilin yang padam, merasa terbakar habis tanpa hasil berarti. Ini adalah kondisi yang sering terjadi di sekolah-sekolah Indonesia, terutama setelah pandemi. Sebuah survei UNICEF bahkan menyebutkan bahwa guru dan siswa sama-sama menghadapi tekanan psikologis dan burnout karena tuntutan yang tidak seimbang dengan dukungan yang tersedia.
Masalah-masalah ini mengungkap realitas pahit: sistem pendidikan kita masih terlalu kaku dan belum mampu beradaptasi dengan kebutuhan psikologis siswa dan guru. Jargon-jargon seperti "Merdeka Belajar" yang digembar-gemborkan oleh pemerintah sering kali hanya menjadi slogan kosong tanpa implementasi yang nyata dan berkelanjutan di lapangan. Jika kondisi ini dibiarkan, tidak hanya guru yang akan terus mengalami burnout, tetapi juga akan muncul generasi siswa yang teralienasi dari esensi belajar.
Untuk keluar dari lingkaran masalah ini, diperlukan reformasi serius dalam dunia pendidikan kita. Kurikulum perlu disederhanakan agar tidak hanya berfokus pada capaian akademis, tetapi juga memperhatikan kesejahteraan mental siswa dan guru. Siswa perlu didorong untuk lebih aktif terlibat dalam pembelajaran melalui metode yang lebih interaktif, bukan sekadar mengikuti rutinitas pasif di kelas.
Bagi guru, dukungan emosional dan profesional sangat penting. Sekolah perlu menyediakan ruang bagi guru untuk beristirahat dan mendapatkan apresiasi yang layak. Tanpa itu, guru akan terus menjadi lilin yang padam, dan siswa akan tetap berperan sebagai "kipas angin" yang sekadar hadir tanpa makna.