Gelar Akademik atau Formalitas
Indonesia dalam beberapa tahun terakhir mengalami fenomena unik di kalangan pejabat dan politisi: maraknya perolehan gelar doktor dalam waktu singkat.
Mulai dari tokoh pemerintahan hingga menteri dan anggota parlemen, mereka tampak berlomba-lomba menyandang titel doktor, seakan-akan gelar ini menjadi bagian tak terpisahkan dari legitimasi politik dan profesional mereka.
Meski beberapa tokoh menyelesaikan gelar melalui jalur pendidikan formal, kritik terhadap proses cepat dan dugaan formalitas semakin santer terdengar di publik.
Sejumlah kasus menunjukan bahwa beberapa pejabat tinggi berhasil meraih gelar doktor tanpa terlibat mendalam dalam proses akademis yang biasanya panjang dan ketat.
Bahkan, ada pejabat yang lulus dalam kurun waktu yang sangat singkat dibandingkan standar pendidikan doktoral di perguruan tinggi berkualitas.
Berbagai berita menunjukkan, banyak pejabat memperoleh gelar dari universitas yang tidak selalu dikenal sebagai pusat riset unggulan, menambah kesan bahwa proses ini lebih pada pencitraan ketimbang kontribusi intelektual.
Dalam konteks ini, kartun yang menggambarkan serangga yang melahap buku hingga rusak dan kemudian merayakan dengan topi wisuda sangat relevan.
Kartun tersebut mengkritik perilaku belajar yang bersifat formalitas, di mana esensi dari ilmu dan pengetahuan justru diabaikan.
Sama halnya dengan fenomena para pejabat yang meraih gelar doktor dalam waktu singkat, gelar tersebut bukan menjadi simbol keilmuan sejati, tetapi lebih kepada status sosial atau legitimasi politik.
Antara Prestasi dan Pencitraan
Menjadi doktor bukan sekadar soal mengumpulkan kredit dan menyerahkan disertasi.