Lihat ke Halaman Asli

Syahiduz Zaman

TERVERIFIKASI

UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Guru atau Dosen, Siapa Sesungguhnya yang Layak Diperhatikan Kesejahteraannya?

Diperbarui: 5 Oktober 2024   10:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

M Guntur, guru honorer di SDN Manggekompo, Desa Kala, Kec. Donggo, 55 tahun dan 17 tahun mengabdi bergaji Rp83 ribu/bulan. (KOMPAS.COM/SYARIFUDIN)

Ketika kita sibuk bolak-balik membahas isu ini, perhatian pemerintah terhadap peningkatan kesejahteraan dosen Indonesia sungguh mengkhawatirkan. Ada kabar baik mengenai tunjangan tersebut. Tetapi pertanyaan besar yang patut diajukan: mengapa kesejahteraan dosen seolah menjadi prioritas utama, sementara nasib guru justru lebih mendesak tidak diprioritaskan? (baca: kompas.com, 01/10/2024).

Secara statistik, jumlah guru Indonesia lebih banyak daripada jumlah dosen. Menurut Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, jumlah total pendidik dari semua jenjang pendidikan melebihi 3 juta orang, sedangkan jumlah dosen hanya sekitar 300 ribu. Ketimpangan tersebut begitu kentara, namun ironisnya, pengawasan terhadap dosen tampak jauh lebih ketat dibandingkan dengan guru. Guru di kedua jenjang pendidikan, baik sekolah dasar maupun menengah, merupakan aktor terpenting dalam meletakkan fondasi pendidikan bangsa. Guru merupakan aktor penting dalam pembentukan karakter, kompetensi, dan moral anak bangsa Indonesia sejak dini.

Kondisi ekonomi guru semakin memprihatinkan, terutama di daerah terpencil atau terbelakang. Banyak guru yang gajinya jauh di bawah UMR, hanya mengandalkan tunjangan sertifikasi yang sering kali tidak dicairkan tepat waktu. Banyak guru yang terpaksa mencari penghasilan tambahan berupa pekerjaan sampingan, bahkan ada yang lebih parah lagi, terjerumus dalam jerat utang yang bunganya sangat tinggi (pinjaman online, pinjol). Kabar guru terjerumus dalam jerat utang atau kredit macet seperti itu makin sering terdengar dari hari ke hari, yang benar-benar menggambarkan minimnya perhatian pemerintah.

Yang memperburuk keadaan bukan soal angka kesejahteraan guru, melainkan besaran gaji dan juga jaminan ekonominya. Pinjol, dengan segala jerat bunga tinggi dan tenggat pembayaran yang mencekik, menjadi solusi instan bagi banyak guru yang terdesak kebutuhan finansial. Namun, ini hanyalah solusi sementara untuk masalah yang jauh lebih besar, yaitu kurangnya dukungan ekonomi. Namun, ini adalah kasus kegagalan kebijakan, karena kebijakan yang seharusnya melindungi mereka dari krisis keuangan telah mengecewakan mereka.

Jika pemerintah dapat memperhatikan kesejahteraan dosen, mengapa tidak memperhatikan guru? Apakah karena dosen termasuk dalam jenjang pendidikan tinggi, yang mungkin memiliki nilai gengsi yang lebih tinggi di mata para pengambil kebijakan? Ataukah ini hanya bagian dari ketidakadilan yang terjadi di sektor pendidikan, di mana mereka yang berada di tingkat bawah tidak mendapatkan perhatian yang layak?

***

Satu hal yang tak bisa diabaikan adalah realitas kesejahteraan guru yang berada dalam kondisi jauh dari layak. Tak hanya di daerah-daerah terpencil, bahkan di kota-kota besar, guru---terutama mereka yang berstatus honorer---berada dalam tekanan ekonomi yang luar biasa. Banyak yang harus berjuang dengan gaji yang rendah, yang seringkali tak sepadan dengan pekerjaan dan tanggung jawabnya. Gaji rata-rata yang diterima guru di Indonesia sangat rendah, yakni di bawah satu juta rupiah per bulan. Dalam situasi inilah sebagian besar guru terpaksa mengambil pinjaman untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.

Terperangkapnya guru-guru ini oleh fenomena pinjol hanyalah cerminan ketidakberdayaan pemerintah dalam menyediakan jaring pengaman ekonomi bagi guru. Tak jarang, solusi cepat untuk kebutuhan sesaat tetapi dengan bunga yang sangat tinggi, guru akhirnya terjebak dalam lingkaran setan utang yang tak berujung. Banyak dari kasus-kasus ini terungkap ke publik, di mana guru harus berhadapan dengan penagih utang yang mengintimidasi. Ini adalah proses yang ironis, dan sistem yang tidak adil ini telah merugikan profesi yang paling terhormat dan terlindungi.

Hal ini menjadi lebih jelas jika dibandingkan dengan perlakuan terhadap dosen. Tentu saja, dosen memegang peranan yang sangat penting dalam pendidikan tinggi, tetapi narasi tentang pentingnya pendidikan itu tidak boleh membuat kita melupakan guru. Dosen memang memiliki akses yang jauh lebih baik terhadap segala macam fasilitas dan manfaat daripada guru, seperti program sertifikasi dengan program insentif yang jauh lebih baik. Bahkan, dalam masyarakat, status sosial seorang dosen cenderung lebih tinggi daripada seorang guru, dengan sendirinya tidak secara langsung mempertegas kesenjangan antara dosen dan guru. Di sisi lain, guru sering dianggap sebagai pekerja biasa yang tidak memiliki kedudukan strategis dalam pandangan sebagian besar pengambil kebijakan.

Jika ada, apakah ini menyiratkan bahwa pemerintah menempatkan nilai yang lebih tinggi pada pendidikan tinggi daripada tingkat dasar dan menengah? Meskipun benar-benar dari perspektif pengembangan sumber daya manusia bahwa pendidikan di tingkat dasar dan menengah adalah yang paling penting sebagai basis fundamental, tidak ada yang tampaknya masih menekankan keberadaan guru. Bagaimanapun, tidak ada satu pun siswa yang lahir dalam ruang hampa; mereka adalah murid-murid yang ajaran dan bimbingannya dibentuk di sekolah. Namun yang jelas, kehadiran guru seringkali terabaikan baik dari segi kesejahteraan maupun perlindungan hak-haknya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline