Lihat ke Halaman Asli

Syahiduz Zaman

TERVERIFIKASI

UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

10,3 Miliar Manusia di 2080, Siapkah Kita Menghadapinya?

Diperbarui: 1 Oktober 2024   16:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi pertumbuhan penduduk global. (Freepik.com)

Manusia: Spesies yang Overachiever

Jadi, kita sekarang punya lebih dari 8 miliar manusia berkeliaran di planet ini. "Wow, luar biasa!" mungkin kamu berpikir. Tapi, tunggu dulu, apakah ini benar-benar luar biasa? Sebenarnya, ini cuma bukti bahwa manusia, sebagai spesies, sudah berhasil memenangi lomba maraton hidup berlebihan. Bayangkan, butuh lebih dari 1800 tahun untuk sampai ke angka 1 miliar, lalu hanya dalam beberapa abad kita sudah berlipat ganda seperti kelinci yang overdosis wortel.

Fakta menarik: tahun 2022 kita resmi mencapai angka 8 miliar. Apa artinya? Artinya planet ini semakin sempit untuk kita. PBB memperkirakan bahwa kita akan mencapai puncak populasi di angka 10,3 miliar pada 2080-an sebelum akhirnya menurun. Mungkin kamu berpikir, "Oh, setidaknya akan ada penurunan." Well, jika kamu melihat laju pertumbuhan di beberapa negara seperti Italia, Jepang, atau bahkan Kepulauan Cook yang sedang mengalami minus pertumbuhan (-2,24% menurut CIA), mungkin kamu akan berpikir ini cuma alarm palsu. Kenyataannya, beberapa bagian dunia memang sudah mulai menyadari bahwa memperbanyak jumlah manusia bukanlah prestasi yang patut dibanggakan.

Kita hidup di dunia yang absurd. Di satu sisi, kita punya negara-negara seperti Indonesia yang populasinya terus merangkak naik (lebih dari 273 juta orang per 2020 menurut BPS). Di sisi lain, negara-negara maju mulai bertanya-tanya, "Apa sih gunanya punya banyak anak?" Dengan biaya hidup yang kian menanjak, lebih dari setengah negara di dunia sekarang punya tingkat kesuburan di bawah 2,1 -- angka yang dianggap cukup untuk mengganti populasi secara alami.

Tapi, tunggu dulu. Apa kita benar-benar perlu lebih banyak orang? Apakah kita sedang berada di jalan menuju "bencana kependudukan"? Di Indonesia, misalnya, banyak orang yang mengeluh soal pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan sosial. Apakah benar, lebih banyak orang berarti lebih banyak masalah? Well, faktanya, pertumbuhan populasi seringkali justru menciptakan masalah-masalah baru. Tentu, pemerintah bisa saja berdalih bahwa pertumbuhan populasi menciptakan pasar tenaga kerja yang dinamis atau mendorong pertumbuhan ekonomi. Tapi, ayo realistis---apa yang sebenarnya terjadi ketika terlalu banyak orang yang bersaing memperebutkan pekerjaan yang sedikit?

Jadi, begini: angka 8 miliar ini mungkin kedengarannya impresif, tapi kenyataannya? Tidak semua hal besar itu bagus. Lebih banyak orang berarti lebih banyak mulut yang harus diberi makan, lebih banyak tempat yang harus dibangun, lebih banyak sumber daya yang dikuras. Di Indonesia, kesenjangan akses terhadap pendidikan dan kesehatan adalah buktinya. Ada banyak yang lapar, banyak yang terjebak dalam siklus kemiskinan, dan banyak yang masih berjuang hanya untuk hidup layak.

Ketika Populasi Membeludak, Siapa yang Tertawa Terakhir?

Sekarang, mari kita bicara soal prediksi PBB tentang penurunan populasi di akhir abad ini. Mereka bilang, kita akan mencapai 10,3 miliar sebelum akhirnya turun jadi 10,2 miliar pada tahun 2100. Wah, seolah-olah kita harus mengucapkan terima kasih kepada "alam semesta" karena akhirnya ada harapan untuk sedikit lebih lega, ya? Tapi, faktanya, itu mungkin lebih karena semakin banyak orang yang menyadari: memiliki banyak anak bukan lagi opsi menarik di tengah hidup yang makin mahal dan makin tidak masuk akal ini.

Nah, mari kita lihat angka. Di Indonesia, tingkat kelahiran masih stabil di sekitar 2,3 per perempuan menurut BPS. "Oh, baik-baik saja," mungkin ada yang bilang. Tapi kalau kita geser pandangan ke negara-negara maju seperti Jepang dan Korea Selatan, mereka sudah di bawah angka 1,5! Apa artinya ini? Secara sederhana, semakin maju suatu negara, semakin sedikit keinginan warganya untuk membebani diri dengan anak-anak yang berderet. Kamu pasti bisa menebak kenapa, kan? Anak itu mahal! Pendidikan mahal, kesehatan mahal, dan jangan lupa, di beberapa tempat, seperti Indonesia, kualitas hidup juga jadi pertaruhan besar. Jadi, kenapa repot?

Lalu, apa yang terjadi kalau populasi akhirnya mulai turun? Apakah ini semacam "karma global" yang akan menyelamatkan kita dari kelebihan manusia? Well, tidak secepat itu, Ferguso. Penurunan populasi juga berarti ekonomi yang melambat. Indonesia, misalnya, masih bergantung pada bonus demografi---masa di mana jumlah angkatan kerja produktif lebih besar dari yang nonproduktif. Tapi ketika kita masuk fase penuaan seperti Jepang, siapa yang akan bekerja dan menopang ekonomi? Apakah kita harus bergantung pada robot atau imigran? Pertanyaan ini masih menggantung.

Dan jangan lupa, dengan laju urbanisasi yang tinggi, ada pula persoalan siapa yang menikmati sisa-sisa sumber daya yang kita punya. Di Indonesia, banyak masyarakat pedesaan yang akhirnya terdesak ke kota, berharap mendapat kehidupan yang lebih baik. Sayangnya, menurut data dari Bank Dunia, sekitar 25,1 juta orang Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan. Jadi, meski populasi terus tumbuh, bukan berarti semua orang bisa menikmati pertumbuhan itu. Lebih banyak orang cuma berarti lebih banyak yang bersaing untuk secuil kue ekonomi.

Dan di sinilah letak ironi besarnya. Sementara beberapa negara berusaha menahan laju penurunan populasi, negara lain masih tergagap-gagap menghadapi tantangan ledakan populasi. Negara-negara yang "berjuang" menghadapi penurunan ini, seperti Jerman atau Korea Selatan, justru mengeluarkan kebijakan insentif kelahiran, seperti subsidi untuk biaya anak. Sementara itu, di Indonesia, yang masih berjuang dengan populasi membengkak, kita masih debat soal subsidi BBM dan harga sembako yang terus naik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline