"Ketidaktahuan adalah kekuatan" merupakan salah satu slogan paling terkenal yang diabadikan oleh George Orwell dalam karyanya yang distopis, "1984".
Pada pandangan pertama, ungkapan ini tampak kontradiktif dan paradoks, namun dalam konteks Orwellian, ia menggambarkan gambaran suram mengenai manipulasi dan kontrol sosial yang ekstrem.
Dalam dunia saat ini, frasa ini seringkali dipakai secara ironis untuk mengkritik bagaimana informasi yang salah atau ketiadaan informasi dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan.
Dalam era digital ini, di mana informasi mengalir lebih bebas dari sebelumnya, kebenaran ironisnya menjadi lebih mudah untuk ditutupi atau dibelokkan.
Kondisi ini sering terlihat dalam politik, media, bahkan dalam kehidupan sehari-hari, di mana narasi yang disampaikan lebih berfokus pada pencitraan daripada substansi yang sesungguhnya.
Orwell dalam "1984" menggunakan slogan ini untuk menunjukkan bagaimana sebuah rezim totaliter dapat mengontrol populasi melalui pengurangan akses mereka terhadap kebenaran objektif.
Ketidaktahuan masyarakat tentang fakta-fakta nyata membuat mereka lebih mudah dikendalikan dan dimanipulasi.
Apabila seseorang tidak mengetahui hak-haknya, tidak menyadari adanya manipulasi, atau bahkan tidak menyadari adanya alternatif lain dari realitas yang diajarkan, maka mereka tidak akan pernah berusaha untuk menuntut lebih atau berjuang melawan ketidakadilan.
Dalam konteks modern, praktik semacam ini dapat terlihat dalam berbagai bentuk.
Misalnya, ketika pemerintah atau korporasi menyembunyikan informasi penting dari publik untuk mencegah kemarahan atau ketidakpuasan.
Atau melalui penggunaan media sosial untuk menyebarkan desinformasi yang disengaja untuk memecah belah masyarakat atau untuk mengarahkan opini publik sesuai keinginan penguasa atau kelompok tertentu.