Dalam labirin pemikiran filsafat, George Berkeley mengajukan proposisi yang menggugah dan seringkali menimbulkan debat panjang: "Essere e essere percepito" atau "Untuk ada adalah untuk dipersepsi." Melalui ungkapan ini, Berkeley tidak hanya menantang konsep keberadaan objektif, tetapi juga menekankan pada keberadaan yang terikat erat dengan persepsi subjektif.
Berkeley, sebagai tokoh empirisisme, mengadvokasi bahwa realitas objektif tidak terlepas dari kesadaran yang mempersepsinya. Menurutnya, sesuatu hanya 'ada' dalam kapasitasnya untuk dipersepsi oleh subjek. Ini berarti, jika suatu objek tidak dipersepsi oleh manusia atau makhluk hidup lainnya, dalam konteks ini objek tersebut bisa dianggap tidak memiliki eksistensi yang independen.
Konsep ini menimbulkan implikasi mendalam tentang bagaimana kita memahami dunia dan realitas. Pada dasarnya, Berkeley menolak gagasan adanya substansi materi yang berdiri sendiri, terpisah dari persepsi. Ini adalah pukulan telak bagi pandangan realisme naif yang menganggap bahwa dunia eksternal ada secara mandiri dan terpisah dari kita.
Dalam konteks sosial dan budaya modern, ide Berkeley ini bisa diterapkan untuk memahami fenomena-fenomena seperti media sosial dan realitas virtual. Di era digital, banyak dari apa yang kita 'rasakan' dan 'alami' hanyalah konstruksi yang dipersepsi melalui layar dan interaksi virtual. Apakah ini berarti realitas tersebut kurang 'nyata'? Menurut Berkeley, realitas tersebut sebenarnya nyata dalam konteks bahwa mereka dipersepsi.
Lebih jauh, konsep Berkeley ini memicu kita untuk mempertanyakan esensi dari 'keberadaan' itu sendiri. Dalam dunia filsafat, ini membuka diskusi tentang batas-batas pengetahuan dan eksistensi. Apakah sebuah pohon yang tumbang di tengah hutan tanpa ada seseorang yang menyaksikannya benar-benar membuat suara? Jawaban Berkeley mungkin akan berfokus pada absennya persepsi yang menjadikan kejadian tersebut tidak termanifestasi dalam realitas apa pun.
Tantangan yang dilontarkan oleh Berkeley ini adalah undangan untuk melihat dunia tidak hanya sebagai kumpulan objek yang diam dan pasif, tetapi sebagai serangkaian pengalaman yang dinamis yang terbentuk melalui interaksi persepsi kita. Ini memaksa kita untuk memikirkan kembali hubungan kita dengan dunia dan memahami bahwa kita tidak sekadar pengamat pasif, tetapi partisipan aktif dalam penciptaan realitas kita.
Pendekatan Berkeley juga memiliki relevansi dalam diskusi tentang keberadaan dan hak-hak entitas non-manusia, seperti kecerdasan buatan dan kehidupan sintetis. Dalam konteks ini, apakah keberadaan mereka kurang nyata karena mereka tidak 'dipersepsi' dalam cara yang sama seperti manusia mempersepsi satu sama lain?
***
"Essere e essere percepito" bukan hanya tentang filosofi keberadaan; itu adalah cerminan tentang bagaimana kita terhubung dengan dunia di sekitar kita. Berkeley mengajak kita untuk mempertimbangkan bahwa tanpa subjek yang mempersepsi, objek mungkin tidak lebih dari kemungkinan yang tak terwujud. Ini bukan hanya tentang apa yang ada, tetapi bagaimana itu ada dalam kesadaran kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H