Ibadah haji, salah satu dari lima rukun Islam, tidak hanya merupakan perjalanan spiritual tetapi juga memiliki dampak signifikan terhadap kesehatan mental para jemaahnya.
Dengan mengumpulkan jutaan umat Muslim dari seluruh dunia, haji menawarkan kesempatan unik untuk merenungkan, berdoa, dan mencari kedamaian spiritual yang dalam.
Efek terapeutik dari haji, khususnya dalam konteks kesehatan mental, mulai mendapatkan perhatian yang serius dari kalangan akademis dan peneliti.
Penelitian yang dilakukan pada para jemaah haji menunjukkan adanya penurunan signifikan dalam tingkat kecemasan, depresi, dan stres setelah menyelesaikan ibadah haji [1].
Proses ini bukan hanya karena aspek fisik dari ibadah tersebut, tetapi juga karena perasaan partisipasi dalam sebuah ritual yang sangat dihormati dan dianggap sebagai pembersihan spiritual.
Selain itu, konsep "pilgrimage therapy" yang lebih luas, yang mengacu pada perjalanan ke tempat suci sebagai bentuk terapi, mendukung gagasan bahwa haji dapat berfungsi sebagai sarana efektif untuk penanganan dan pencegahan gangguan kejiwaan.
Perjalanan suci ini diakui memiliki kapasitas untuk menyediakan kenyamanan psikologis dan pemulihan emosional, sejalan dengan pandangan terapi modern yang mencakup perawatan farmakologis dan psikoterapi [2].
Khususnya, dalam konteks haji, aspek kebersamaan---berkumpul dengan jutaan orang lain yang memiliki tujuan spiritual yang sama---menyediakan dukungan sosial yang kuat, yang telah terbukti berdampak positif terhadap kesehatan mental.
Pengalaman bersama ini, ditambah dengan intensitas doa dan refleksi, meningkatkan rasa kebersamaan dan pemahaman bersama yang lebih dalam, yang merupakan faktor penting dalam meningkatkan kesehatan mental [1].
Dalam tinjauan ini, juga dipertimbangkan bagaimana praktek haji mengintegrasikan unsur-unsur kognitif, emosional, dan sosial yang berinteraksi untuk memberikan efek terapeutik.