Mimpi di Pinggir Jalan
Di sudut pasar tua kota ini,
di mana jejak kaki bercampur debu,
seorang tua dengan senyum lebar
menjual mimpi-mimpi yang tak terucap.
Kardus-kardusnya penuh dengan harapan,
matahari setiap hari menjilat luka-lukanya,
tapi dia tetap bertahan,
di pinggir jalan, ia berdiri sebagai monumen
kegigihan yang tak kenal menyerah.
Kerut di wajahnya, peta jalan hidup,
di setiap lipatan cerita perjuangan.
Dia berbicara dalam bahasa yang hanya
dipahami oleh mereka yang mendengar
dengan hati, bukan hanya dengan telinga.
Anak-anak berlarian, mengejek waktu,
sementara dia mengukir senyum pada kayu,
membuat mainan dari sisa-sisa kayu bekas,
setiap potongan adalah doa,
setiap ukiran adalah asa.
"Mari, beli mimpi," katanya,
"biarkan mereka menari dalam tidurmu."
Di sini, di tepi kenyataan,
dia menjual bukan hanya barang dagangannya,
tapi jendela-jendela ke dunia yang lebih baik.
Langit semakin merah, lampu-lampu mulai menyala,
dia mengumpulkan barang-barangnya,
mungkin besok, akan ada yang membeli,
mungkin besok, dunia akan lebih ramah
bagi pemimpi yang terlupakan.