Lihat ke Halaman Asli

Syahiduz Zaman

TERVERIFIKASI

UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Puisi: Hiruk Pikuk Keheningan

Diperbarui: 18 April 2024   22:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi membangun jembatan dari simpati ke empati. (Freepik.com)

Hiruk Pikuk Keheningan

Dalam lembutnya pagi, sinar matahari menyisir rambut jalan,
Tangis daun yang jatuh menari, ditatap oleh mata yang lelah---
mencari pengertian dalam raut wajah asing.
Di setiap sudut kota, di setiap pelukan bayang,
kita mengukir empati dengan pahat kata-kata tak terucap.

Kita bertukar pandang bukan sebagai dua jiwa terpisah,
tetapi sebagai cerminan satu sama lain:
aku melihat kesedihanmu dalam riak air mataku,
dan engkau memahami rasa sakitku di antara bisikan angin.

Dalam keramaian yang sesak, di mana hati berdesakan,
kita belajar memberi ruang---tak hanya untuk duduk,
tetapi untuk menghirup nafas dalam-dalam,
untuk merasakan, lebih dari sekadar ada.

Ada keberanian yang tak terucap dalam setiap tindakan kecil,
saat kita memilih untuk tidak hanya menyapa, tetapi mendengar---
mendengar bukan hanya kata, tetapi hening di baliknya.
Dalam hening itu, kita membangun jembatan dari simpati ke empati,
di mana aku berhenti menjadi aku, dan engkau berhenti menjadi engkau,
hanya kita, menari dalam harmoni rasa mengerti yang mendalam.

Oh, betapa seringnya kita melupakan:
Empati bukanlah tugas yang berat, melainkan hadiah---
sebuah bisikan kecil di telinga yang mengatakan,
"Kamu tidak sendirian, di sini aku berdiri, bersamamu."

Malang, 18 April 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline