Lihat ke Halaman Asli

Syahiduz Zaman

TERVERIFIKASI

UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Dogma dan Logika, Kunci untuk Pemahaman Agama yang Lebih Inklusif

Diperbarui: 13 April 2024   21:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi dogma dan logika untuk pemahaman agama yang lebih inklusif. (Freepik/prostooleh)

Perbedaan antara Dogma dan Logika

Dogma dan logika, kedua konsep ini sering kali terlihat bertentangan dalam banyak aspek kehidupan, terutama dalam konteks agama. Meskipun keduanya berfungsi sebagai alat untuk memahami kebenaran, cara mereka masing-masing dalam menginterpretasi dan menerapkan kebenaran tersebut sangat berbeda.

Dogma dalam konteks agama biasanya merujuk pada serangkaian keyakinan yang diterima sebagai kebenaran absolut oleh pengikutnya. Keyakinan ini tidak dibuka untuk perdebatan atau pertanyaan, karena dianggap telah dinyatakan oleh otoritas yang lebih tinggi, seperti teks suci atau pemimpin agama. Dogma memberikan kepastian dan stabilitas dalam praktik keagamaan dan berfungsi sebagai fondasi yang mengikat komunitas bersama, menawarkan rasa identitas yang jelas dan koheren kepada pengikutnya.

Di sisi lain, logika adalah alat yang digunakan untuk menganalisis dan membangun argumen berdasarkan premis dan kesimpulan. Dalam konteks agama, penggunaan logika seringkali terkait dengan teologi rasional dan filsafat agama, di mana argumentasi dan penalaran digunakan untuk menjelaskan dan membela doktrin agama. Logika memungkinkan untuk pemeriksaan kritis terhadap doktrin dan praktek, membuka jalan bagi interpretasi dan adaptasi yang mungkin diperlukan dalam menghadapi situasi baru atau tantangan intelektual.

Ketika mempertimbangkan perbedaan ini, tampaknya jelas bahwa keduanya berperan dalam membentuk pemahaman agama yang lengkap. Dogma memberikan struktur dan arah, sementara logika menyediakan alat untuk analisis kritis dan adaptasi. Dalam konteks yang lebih luas, kedua elemen ini sering kali diharapkan untuk bekerja bersama dalam menawarkan sebuah pemahaman yang lebih matang dan dinamis terhadap agama dan prakteknya.

Dalam Memahami Agama, Dogma atau Logika yang Digunakan?

Pemahaman agama seringkali membutuhkan pendekatan yang komprehensif, menggabungkan baik dogma maupun logika untuk mencapai pemahaman yang mendalam dan inklusif. Walaupun kedua aspek ini mungkin tampak berlawanan, dalam praktiknya, mereka seringkali saling melengkapi dalam mengungkap makna dan kebenaran spiritual.

Penggunaan Dogma dalam Agama

Dogma berperan sebagai fondasi yang memberikan definisi dan batasan kepada ajaran dan praktik keagamaan. Dalam banyak tradisi, dogma menentukan hal-hal esensial seperti sifat ketuhanan, cara ibadah, dan prinsip moral yang harus diikuti. Ini bertindak sebagai pusat gravitasi yang menjaga kesatuan doktrinal dan praktik keagamaan, membantu mempertahankan kontinuitas dan identitas komunitas sepanjang generasi. Misalnya, dalam Kekristenan, dogma tentang Trinitas mengatur pemahaman tentang sifat dan persatuan tiga 'pribadi' dalam satu esensi ilahi.

Penggunaan Logika dalam Agama

Di sisi lain, logika digunakan untuk menjelaskan, membela, dan kadang-kadang menantang dogma tersebut. Melalui logika, pemikir dan teolog agama mengembangkan argumen yang mendukung kepercayaan mereka atau merespon keraguan dan kritik. Logika juga memainkan peran penting dalam interpretasi teks-teks suci, di mana pemahaman yang lebih dalam dan kontekstual sering diperlukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kontemporer dan aplikasi praktis ajaran tersebut. Contohnya, dalam Islam, usaha ijtihad memungkinkan ulama untuk menerapkan prinsip-prinsip Alquran dan hadit kepada masalah-masalah hukum yang tidak secara eksplisit disebutkan dalam teks-teks tersebut, menggunakan alat-alat logis dan penalaran.

Keseimbangan antara Dogma dan Logika

Keseimbangan antara dogma dan logika sangat penting untuk pengembangan spiritual dan intelektual dalam agama. Tanpa dogma, agama bisa kehilangan dasar kepercayaannya dan menjadi sekadar filosofi atau ideologi yang tidak memiliki kekuatan pemersatu. Tanpa logika, agama mungkin tidak akan dapat menyesuaikan diri dengan perubahan sosial atau intelektual, atau menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para pemeluknya atau skeptis luar. Oleh karena itu, keduanya harus beroperasi dalam harmoni untuk mempromosikan pemahaman yang inklusif dan berkelanjutan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline