Lihat ke Halaman Asli

Syahiduz Zaman

TERVERIFIKASI

UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Jadi Korban PHP Kok Bangga!

Diperbarui: 20 Oktober 2023   07:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Korban PHP. Foto oleh Elias dari Pixabay

Pemilihan presiden tahun depan telah menarik perhatian nasional, membawa risiko bagi masa depan politik negara kita. Di tengah atmosfer politik yang semakin intens, partai politik sedang aktif merumuskan rencana dan memilih pasangan yang sempurna untuk calon presiden mereka. Salah satunya, dengan ciri khasnya, adalah partai yang mempromosikan figur eksekutif petahana, dikenal dengan inisial "M". Ironisnya, dalam labirin politik negara kita, "M" telah tiga kali dianggap sebagai korban cinta politik yang tak berbalas (baca: Semoga Bukan Tiga Kali "M" Kena "Pehape"). Namun, pembicaraan kita hari ini bukan tentang drama politik yang melibatkan "M". Sebaliknya, kita akan menjelajahi konsep 'PHP,' yang, meskipun sederhana, memiliki akar yang dalam pada dinamika psikologis dan sosial kita. Mari kita eksplorasi lebih lanjut.

***

Di era digital saat ini, perilaku manusia telah mengalami evolusi dalam cara kita berkomunikasi dan berinteraksi. Salah satu fenomena yang menarik namun juga mengkhawatirkan adalah fenomena "Pemberi Harapan Palsu," yang dikenal dengan singkatan PHP. Melalui analisis mendalam, kita dapat lebih memahami latar belakang, dampak, dan cara menghindari perangkap PHP.

PHP menggambarkan ketidakpastian, ketidakjelasan, dan inkonsistensi dalam hubungan antarpribadi. Dalam banyak kasus, PHP melambangkan ketidakmampuan seseorang untuk berkomitmen atau kebingungan dalam mengungkapkan perasaannya. Namun, apa penyebab prevalensi perilaku seperti ini dalam masyarakat kita, khususnya di kalangan generasi muda?

Pertama-tama, ada aspek ketakutan. Ketakutan akan penolakan atau melukai perasaan seseorang seringkali menjadi alasan utama mengapa seseorang memilih untuk memberikan harapan palsu. Ketidakmampuan untuk mengungkapkan perasaan atau kebingungan emosional adalah alasan lainnya. Di sisi lain, beberapa orang memanfaatkan situasi ini sebagai bentuk dominasi, merasa bahwa mereka memiliki kontrol atas emosi dan reaksi orang lain. Ini menimbulkan pertanyaan: adakah norma sosial atau tekanan budaya yang mendorong perilaku PHP?

Teori sosialisasi dan konformitas memberikan jawaban yang menarik. Di banyak masyarakat, tekanan untuk memiliki hubungan atau terlihat sukses dalam kehidupan romantis bisa menjadi beban yang berat. Seseorang yang terjebak dalam norma-norma sosial ini mungkin merasa perlu untuk menunjukkan bahwa mereka "diperhatikan" oleh banyak orang, bahkan tanpa niat serius. Dengan kata lain, validasi sosial dan harapan kelompok mendorong perilaku PHP.

Dari sudut pandang para korban, situasinya menjadi lebih kompleks. Optimisme berlebihan, penyangkalan, atau kurangnya pengalaman dapat membuat seseorang gagal melihat tanda-tanda PHP. Namun, di balik semuanya, ada hasrat mendalam untuk diterima, dicintai, dan dihargai. Teori "attachment" Bowlby menjelaskan bahwa pengalaman masa kecil kita dapat memengaruhi bagaimana kita membentuk hubungan di masa dewasa. Sebagai contoh, seseorang dengan gaya "attachment" yang cemas mungkin akan terus mencari validasi dari pasangan mereka, bahkan jika tanda-tandanya menunjukkan sebaliknya.

Dissonansi kognitif, sebuah teori yang diperkenalkan oleh Leon Festinger, juga memberikan pencerahan tentang bagaimana korban PHP memproses informasi. Ketika dihadapkan dengan informasi yang bertentangan dengan keyakinan atau harapannya, mereka mencari cara untuk mengurangi ketidaknyamanan tersebut. Dalam konteks PHP, korban mungkin lebih memilih untuk fokus pada tanda-tanda positif dan mengabaikan yang negatif, bahkan jika itu berarti mereka harus menyesatkan diri sendiri.

Memahami PHP dari sudut pandang teori psikologi dan sosial menggambarkan bahwa perilaku ini bukan sekadar "main-main" atau "gurauan." PHP adalah hasil dari tekanan sosial, traumatisasi masa lalu, dan berbagai dinamika psikologis yang rumit. Namun, hanya dengan memahami akar masalah ini, kita dapat mencegah dan mengatasi fenomena PHP ini.

Sebagai masyarakat, kita perlu lebih kritis terhadap norma dan harapan yang mungkin mendorong perilaku PHP. Peningkatan pendidikan dan kesadaran tentang pentingnya komunikasi yang jujur dan terbuka dalam hubungan juga perlu dilakukan. Hanya dengan pemahaman dan kesadaran yang mendalam, kita bisa mengatasi fenomena PHP dan menciptakan hubungan yang lebih sehat dan bermakna. Semoga saja "M" segera menyadari dan bersiap-siap jika terjadi PHP keempat kalinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline