Suatu ketika, seorang mahasiswa (mahasiswa A) menge-tweet: "Ada beberapa mahasiswa di kampus ini yang mendukung tokoh X. Ini adalah kegagalan dari institusi kita."
Seorang mahasiswa lainnya (mahasiswa B) merasa tersinggung karena dia adalah pendukung fanatik tokoh X dan memulai perang di Twitter. Namun, mahasiswa A merespons dengan tenang, "gimana kalau begini bro, kamu balas tweet saya."
Menyetujui, mahasiswa B kemudian menge-tweet, "Banyak mahasiswa di kampus ini yang mendukung tokoh Y. Ini adalah keberhasilan dari institusi kita."
Ketika mereka bertemu di kampus, mereka berjabat tangan dan berpelukan dengan damai...
Di era digital saat ini, pertempuran pendapat seringkali tidak lagi terjadi di domain publik nyata melainkan di alam maya yang sangat luas.
Namun, alam ini seringkali dipenuhi dengan emosi yang membara, dendam yang mendalam, dan perbedaan pandangan yang tajam.
Di era teknologi digital ini, satu tweet memiliki potensi untuk memicu konflik pendapat, memberi tekanan pada hubungan, dan bahkan menyebabkan polarisasi.
Namun, cerita dari dua mahasiswa ini, A dan B, mengingatkan kita bahwa kita masih bisa memilih jalan damai dalam konfrontasi online.
Sebagai mahasiswa, A tidak ragu untuk mengungkapkan pendapatnya di media sosial. Dengan latar belakang pendidikan tingginya, dia merasa perlu untuk menyatakan ketidaksetujuannya terhadap mahasiswa yang mendukung tokoh X.
Bagi A, ini adalah kegagalan dari lembaga pendidikannya. Mungkin A percaya bahwa kampusnya harus mengajarkan pemikiran kritis yang berbeda dari pendukung fanatik tokoh X.