Saat berjalan melintasi koridor rumah sakit, seringkali kita terpesona dengan teknologi canggih yang terpasang di setiap sudut. Algoritma kecerdasan buatan (AI) bekerja tanpa henti di balik monitor-monitor canggih tersebut, dengan tekun menganalisis data dan berusaha memberikan prediksi yang tepat mengenai kondisi pasien. Namun, seperti setiap alat, mesin ini dapat menjadi tua dan usang. Inilah inti dari artikel terbaru Michal Pruski (2023) yang saya baca dari jurnal ilmiah "Ethics and Information Technology" dengan judul "Ethics framework for predictive clinical AI model updating."
Dimulai dengan konsep 'penyimpangan kalibrasi', Pruski meningkatkan kesadaran kita tentang pentingnya pembaruan berkala dalam model AI. Dalam dunia medis, ini bukan hanya soal teknologi; ini adalah komitmen untuk memberikan pelayanan kesehatan terbaik. Bayangkan ada perubahan signifikan dalam demografi pasien atau evolusi dalam teknologi medis, namun AI yang kita gunakan masih mengandalkan data lama. Kualitas perawatan yang diberikan berpotensi terpengaruh negatif oleh hal ini.
Puski tidak berhenti di situ. Artikelnya menggali lebih dalam, mencari solusi dan memperkenalkan kita pada konsep metodologi Peningkatan Kualitas untuk AI. Baginya, siklus sistem pembelajaran yang mengintegrasikan pengawasan, umpan balik, dan pembaruan model adalah kunci untuk menjaga akurasi dan keamanan AI. Saat membaca, saya merasa seperti diajak untuk melihat dunia medis sebagai sebuah orkestra, di mana AI adalah salah satu instrumennya yang membutuhkan perawatan dan penyetelan konstan agar dapat memainkan melodi terbaiknya.
Satu hal yang membuat artikel ini semakin menarik bagi saya adalah bagaimana Pruski dengan cerdas menyoroti potensi bahaya ketidaksetaraan dan prasangka yang mungkin tertanam dalam kode algoritma AI. Dalam dunia yang beragam, memastikan bahwa AI dapat memberikan pelayanan yang adil dan tidak bias adalah suatu keharusan. Apa artinya kemajuan teknologi jika masih membawa stigma dan ketidaksetaraan?
Pruski juga melihat lebih jauh, mencari cara untuk memastikan AI yang dikembangkan tetap relevan dengan kebutuhan pasien saat ini. Artikelnya mengingatkan kita bahwa AI bukan alat yang statis; ia harus terus beradaptasi, belajar, dan tumbuh bersama komunitas medis. Pandangan ini memotivasi saya untuk melihat AI bukan hanya sebagai alat saja, tetapi sebagai mitra yang memiliki kapasitas untuk memberikan dampak positif pada individu yang membutuhkan perhatian medis, asalkan kita memiliki pengetahuan untuk mengarahkannya dengan efektif.
Dari semua data dan argumen yang disajikan, meskipun Pruski tidak menyebutkan data spesifik yang ia gunakan, pesannya jelas: AI memiliki potensi besar, namun membutuhkan panduan etika dan perhatian konstan agar tetap relevan dan efektif.
Sebagai penutup, saya merasa beruntung dapat menyelami pemikiran Pruski melalui artikelnya. Ini menggambarkan potensi kejadian di hari-hari mendatang, sekaligus sebagai pengingat tanggung jawab kita saat ini. Di tengah kemajuan teknologi yang pesat, nilai-nilai etika dan kemanusiaan harus tetap menjadi kompas panduan kita. AI yang baik bukanlah yang paling canggih, melainkan yang paling manusiawi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H