Perkembangan politik di Indonesia saat ini telah ditandai dengan perubahan terminologi yaitu "reformasi" yang mencakup tiga penyebab utama kegagalan Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto. Fenomena ini menandakan bahwa Orde Baru telah terlibat dalam praktik korupsi. , Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Praktik-praktik ini telah membawa ketidakstabilan di semua sektor, dan yang paling penting adalah penurunan tajam dalam kesejahteraan masyarakat. Pada masa Orde Baru tidak ada orang yang berani mengungkapkan pendapatnya tentang keterlibatan Soeharto dalam KKN. Ia menjabat presiden selama 32 tahun dengan birokrasi opresif yang cenderung melanggengkan sistem yang diciptakan oleh penguasa absolut. Aktivis mahasiswa di beberapa perguruan tinggi di Indonesia menuntut penurunan harga yang melonjak dan meminta Soeharto turun. Tuntutan mereka yang gencar untuk reformasi ekonomi politik, didukung oleh mahasiswa dari sebagian besar universitas di Indonesia. Hal ini diikuti oleh demonstrasi massa hingga jatuhnya Soeharto pada 21 Mei 1998. Korupsi dan reformasi merupakan salah satu topik dalam studi politik Indonesia, terutama studi ekonomi politik, setelah runtuhnya Orde Baru. Salah satu permasalahan utama dalam Orde Baru adalah maraknya praktik KKN (korupsi, kolusi, nepotisme). Pada pelaksanaannya, masa Reformasi juga tak terlepas dari berbagai polemik yang menghantam, seperti salah satunya ialah praktik korupsi yang marak terjadi. Korupsi sendiri pada dasarnya merupakan suatu tindakan pengutamaan kepentingan pribadi dan suatu upaya memperkaya diri sendiri. Sistem sentralisasi, di mana kekuasaan yang sepenuhnya dijalankan oleh pemerintah pusat, menjadi salah satu faktor pendorong maraknya korupsi di era Soeharto. Pemusatan kekuasaan serta praktik nepotisme membuat korupsi di kalangan elite-elite Soeharto dapat berjalan secara mulus.
Akar utama penyebab korupsi politik di Indonesia adalah campuran antara bisnis dan politik. Kondisi ini akhirnya menimbulkan konflik kepentingan dan penggunaan posisi publik untuk keuntungan pribadi, yang menagkibatkan sulitnya untuk mengharapkan parlemen dan kantor eksekutif pemerintah memiliki minat yang tulus dalam menghasilkan undang-undang dan kebijakan pemerintah untuk menciptakan transparansi dan akuntabilitas lingkungan. Wajar bila beberapa hukum dan kebijakan baik yang dinikmati masyarakat Indonesia saat ini sebagian besar merupakan produk awal era reformasi. Bukti nyata terjadinya korupsi politik yang terjadi di Indonesia dapat kita lihat dari melonjaknya angka korupsi politik yang dilakukan oleh pejabat terpilih yang telah diadili oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Akibat dari kondisi yang tidak menguntungkan itu, sulit untuk mengharapkan niat baik yang tulus dari para politisi untuk membebaskan Indonesia dari korupsi para elit yang tiada henti. Telah didokumentasikan dengan baik bahwa korupsi dapat memperlambat pembangunan ekonomi, berkontribusi pada ketidakstabilan pemerintah, melanggar hak asasi manusia, menciptakan terjadinya kejahatan lain, merusak institusi demokrasi, memutarbalikkan supremasi hukum, mengurangi kualitas hidup dan pembangunan berkelanjutan, dan merugikan masyarakat. miskin dulu. Kondisi ini telah terbukti kebenarannya dan dapat dilihat di banyak negara korup, termasuk Indonesia. Tingkat korupsi yang tinggi dapat berdampak negatif pada reproduksi sumber daya manusia. Selain itu, korupsi juga telah menimbulkan kerugian serius dalam perekonomian, efisiensi pemerintahan, kualitas hidup, dan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintah. Studi mereka juga menemukan Menurut tingkat korupsi, bidang utama adalah pendidikan dan perawatan kesehatan yang secara langsung merusak kualitas sumber daya manusia. Indonesia juga mengalami kondisi serupa, dimana dari waktu ke waktu tingkat kemiskinan tidak pernah berkurang secara signifikan. Penting untuk dicatat bahwa tingginya tingkat kemiskinan di Indonesia merupakan dampak langsung dari korupsi 'politik' yang sistemik.
Runtuhnya rezim Orba yang ditandai dengan mundurnya Soeharto pada tahun 1998 menandakan dimulainya era Reformasi. Sejalan dengan amanat reformasi, KPK didirikan pada tahun 2002 dengan landasan hukum UU No. 30 Tahun 2002. Pendirian badan antikorupsi ini bertujuan untuk memberantas praktik korupsi yang terjadi di Indonesia. Sejauh ini, KPK berhasil mengungkap beberapa kasus korupsi kelas kakap, seperti korupsi Hambalang, pengadaan E-KTP, BLBI, Bank Century, pengadaan bibit lobster, serta pengadaan bansos Covid-19. Akan tetapi, permasalahan korupsi tidak serta merta hilang sebagai dampak pembentukan KPK. Salah satu amanat reformasi lain adalah desentralisasi, di mana daerah diberikan kesempatan untuk mengurus dan mengembangkan wilayahnya. Desentralisasi bertujuan untuk mengurangi dominasi pemerintah pusat dalam urusan daerah. Desentralisasi atau otonomi daerah memiliki landasan hukum, yaitu salah satunya adalah UU No. 32 Tahun 2004. Otonomi daerah menimbulkan potensi korupsi atau penyelewengan dana yang dilakukan oleh kepala daerah. Salah satu kepala daerah yang terjerat kasus korupsi adalah Ratu Atut Chosiyah. Mantan Gubernur Banten ini terbukti bersalah melakukan korupsi pengadaan Alkes di Provinsi Banten. Pengungkapan kasus korupsi ini turut membongkar 'dinasti' Atut yang terdapat di Banten. Korupsi merupakan permasalahan yang menjadi perbincangan besar dalam ruang lingkup masyarakat maupun negara, hal ini dikarenakan dampak besar dan signifikan yang diberikan pada masyarakat dan negara. Upaya-upaya perlawanan korupsi tak hanya dilakukan oleh pihak yang berwenang saja, tetapi juga oleh masyarakat. Pada masa Orde Baru, korupsi semakin merajalela dan berdampak terhadap ruang lingkup pemerintahan dan kehidupan. Pada saat ini, pemberantasan korupsi hanyalah suatu retorika politik. Masa Reformasi menanggapi kasus-kasus korupsi dengan lebih serius.
Kolusi adalah perjanjian rahasia atau kerjasama ilegal untuk tujuan yang salah. Ini adalah bentuk aliansi yang harus diwujudkan melalui simbiosis manfaat yang akan dicapai. Dalam sistem feodal, aliansi diberlakukan pada hubungan individu atau antarkelompok. Semangat kelompok tersebut mendorong berkembangnya harapan akan keuntungan material dan spiritual.
Kolusi saat ini dipandang negatif jika aliansi tersebut merugikan kepentingan umum. Kepentingan sosial-politik menjadi lebih luas di antara kedua belah pihak dan tidak terjembatani sehingga menimbulkan ketegangan sosial-politik masyarakat pedesaan dan perkotaan. Apalagi kita bisa membayangkan jika tidak ada kolusi kita tidak akan tahu sejauh mana kemajuan suatu masyarakat. Satu-satunya peringatan adalah bahwa kolusi harus dibatasi dan dihindari. Kolusi sangat umum dalam masyarakat tradisional karena kehidupan kerajaan tradisional selalu didasarkan pada kerja sama baik secara horizontal maupun vertikal. Kerjasama horizontal harus solid. Raja bekerja sama dengan elit birokrasi atas untuk tujuan membangun pemerintahan yang solid selain mendapatkan keuntungan ekonomi. Bahkan elit birokrasi yang lebih rendah menjalin hubungan di antara mereka, yaitu antara mandor dan kepala desa. Sebenarnya mereka adalah kelompok penekan yang mempertahankan kelompok penguasa yang ada. Kelompok ini menekan mobilitas vertikal petani. Dengan kata lain, rakyat bawah dipilih secara ketat. Setelah datangnya pemerintah Belanda, kolusi dengan kerajaan-kerajaan lokal merupakan conditio sine qua non. Belanda tidak akan mengubah sistem feodal lama yang selama ini berjalan baik. Jika kerajaan-kerajaan lokal telah dieksploitasi melalui pajak dan kebutuhan wajib lainnya, Belanda menambah beban rakyat sebanyak mungkin. Ketika perkebunan menyebar di pertengahan abad kesembilan belas, raja-raja Jawa memberikan izin kepada para pekebun untuk mengoperasikan dan mengelola tanah petani dan kerja. Sebagai imbalannya, raja menerima beberapa jenis hadiah (Ekeh, 1975). Raja-raja dan para bangsawan terikat dalam ikatan persahabatan yang erat dengan bekel putih, yaitu penyewa tanah Belanda atau Cina. Orang Belanda dan Cina juga memiliki hubungan yang erat sebagaimana tercermin dalam pepatah Jawa Ana Landaana Cina. Kekerabatan mereka terjalin melalui perkawinan campuran sebagaimana terlihat dalam keluarga Dezentje di Karesidenan Surakarta (Suhar-tono, 1991). Pada tingkat yang lebih rendah kepala desa menciptakan gelar bangsawan dengan mandor, pengontrol lapangan, mempertahankan posisi sosial mereka. Hubungan ini juga diperkuat oleh pernikahan politik. Hanya keturunan mereka yang bisa diangkat sebagai kepala desa, sistem ini didukung oleh pemerintah Belanda. Pendeknya, kolusi selalu merugikan petani. Akibatnya, julukan kecu atau perampok digunakan untuk menyebut kepala desa, mandor, dan penyewa kulit putih. Dalam skala besar, penolakan terhadap kolusi mengakibatkan munculnya kerusuhan, pemberontakan, dan bandit petani (Suhartono, 1995). Meskipun pemerintah Belanda tidak bermaksud untuk membuat beambtenstaat, pembentukan berbagai sekolah secara otomatis menciptakan kelompok dalam. ,khusus kelompok priyayi. Kelompok ini berusaha mempertahankan status sosial-politik mereka yang telah mapan selama berabad-abad dan telah memberikan keuntungan bagi elit penguasa.
Nepotisme didasarkan pada hubungan silsilah yang cenderung menunjukkan perhatian khusus kepada kerabat. Umumnya seseorang yang diangkat pada jabatan yang tinggi akan memberikan pekerjaan kepada kerabatnya. Secara sosial, memperhatikan kerabat seseorang adalah kebutuhan primer dan mereka dianggap sebagai kerinduan kelompok batin. Selain itu, keluarga inti membentuk kelompok yang kuat melawan berbagai kekuatan luar, sehingga harus bertahan hidup di dalam kelompok tersebut. Belakangan, keluarga besar juga menjadi sasaran nepotisme. Tidak diragukan lagi nepotisme adalah sistem lama yang dipertahankan oleh kelompok mapan untuk tujuan tertentu. Kita sering mendengar kelompok tertentu berusaha mempertahankan kekuasaannya sebagai kelompok penguasa. Terkait dengan kekuatan yang ada, mereka selalu menjaga kekayaannya. Ransum generasi berikutnya membuat garis silsilah ke pemegang kekuasaan sebelumnya. Semua ini berkaitan dengan kemurnian keluarga mereka dengan pembatasan yang berkaitan dengan etnis dan kedaerahan. Kepentingan khusus mereka harus dijaga melalui perlindungan harta benda mereka dan kelompok eksklusif elit penguasa harus dipertahankan. Dalam kerajaan tradisional, umumnya raja melindungi kemurnian kekerabatan. Mereka tidak ingin kekayaan mereka dibagi dengan orang yang lebih rendah. Konsep ini tampaknya bertahan hingga saat ini. Pernikahan politik tersebut di atas, selain berfungsi sebagai sarana untuk memperkuat kekuasaan, juga bertujuan untuk menjaga kekayaan, dan setidaknya memurnikan hubungan silsilah. Kita tahu praktik triman yang berimplikasi pada kontrol raja terhadap pembangunan sosial politik. Dengan memberikan seorang perempuan untuk dinikahkan dengan elit birokrasi, maka akan mempererat hubungan dengan birokrasi pusat, sehingga menjadi jaminan untuk menjaga ketentraman dan ketertiban (Soemarsaid Moertono, 1968). Saat ini, praktik ini ditemukan dalam perkawinan campuran di antara para birokrat papan atas, elit militer dan orang-orang kaya. Kombinasi ini akan membawa kekuatan yang mutlak dan kuat. Namun, seperti yang terlihat dalam sejarah Jawa, pemerintahan yang kuat ini, meskipun didukung oleh pemerintahan yang kuat, tiba-tiba gagal dan kerajaan diganti oleh seorang pemimpin baru, Paku Buwono IX (1893-1939) Surakarta berhasil menguasai semua bupati dengan menganut sistem feodal.
Partai politik Indonesia telah kehilangan kemampuan untuk menghasilkan politisi yang kompeten dengan karakter dan integritas yang baik. Beberapa pimpinan parpol bahkan mengusut dan mengadili kasus korupsi. Kondisi yang tidak menguntungkan itu telah menciptakan kurangnya kepercayaan terhadap partai politik dan kadernya. Akibat kurangnya kepercayaan, partai politik menjadi terlepas dari konstituennya. Kondisi ini mengakibatkan parpol tidak mampu menyerap kemauan dan aspirasi masyarakat yang diwakilinya. Sebagian besar kebijakan dan legislasi gagal menjawab aspirasi rakyat yang murni dan hanya melayani kehendak elit politik dan oligarki. Korupsi dan nepotisme dari elite parpol telah merampas hak-hak warga negara yang dijamin konstitusi. Dengan melihat potensi negara, para elite parpol seharusnya mampu mensejahterakan rakyat yang diwakilinya. Sayangnya, mimpi seperti itu menjadi mimpi yang berkepanjangan karena tidak pernah menjadi kenyataan. Dengan lanskap politik yang tandus seperti itu, sangat sulit untuk bersikap optimis karena perubahan radikal dalam sistem kepartaian membutuhkan kemauan para elit politik untuk berubah. Perkawinan kapital dan elit telah menciptakan oligarki baru dan sulit untuk diubah karena semua partai politik menjadi sangat pragmatis dalam pendekatannya. Mereka bahkan melupakan ideologi partai politik mereka. Oleh karena itu, satu-satunya harapan bagi reformasi parpol yang berarti adalah tuntutan yang nyata dan kuat dari rakyat. Masyarakat, terutama kelompok masyarakat sipil dan akademisi, harus bersuara untuk meminta perubahan nyata dalam keuangan parpol, program kaderisasi yang lebih baik, dan penegakan tegas pelanggaran etika di dalam parpol. Tanpa perubahan yang berarti seperti itu, gagasan untuk beralih dari sistem 'oligarki' ke demokrasi substantif yang sesungguhnya akan sulit dicapai.
Dari penjabaran KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) diatas, dapat disimpulkan bahwa praktik KKN pada masa reformasi tersebut ternyata sangat mempengaruhi perekonomian di Indonesia, aktivis mahasiswa saat di beberapa perguruan tinggi di Indonesia saat itu menuntut penurunan harga yang melonjak dan meminta Soeharto turun dan tuntutan mereka yang gencar untuk reformasi ekonomi politik. Tindakan KKN dapat menurunkan produktivitas pada tiap industri yang akhirnya akan menyebabkan turunnya angka produksi, jika angka produksi menurun makan produktivitas dari berbagai perusahaan pun akan terhambat dan sulit berkembang yang akibatnya akan menyebabkan PHK atau pengurangan jumlah pekerja atau karyawan di berbagai instansi perusahaan. Kemudian angka kemiskinan pun akan melonjak tinggi karena banyaknya pengangguran yang ada, korupsi juga akan menyebabkan penurunan pendapatan negara, karena 70% sumber biaya APBN berasal dari PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dan PPh (Pajak Penghasilan), turunnya pendapatan ini dikarenakan maraknya oknum pekerja pajak yang justru malah memanfaatkan keadaan buruk ini untuk memperkaya dirinya sendiri, hal inilah yang mengakibatkan masyarakat memiliki Trust Issue terhadap para pekerja pajak yang akhirnya menimbulkan hambatan pada proses pembangunan negara dan merugikan masyarakat juga. Praktik KKN terbukti dapat merugikan Indonesia secara ekonomi maupun politik karena seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya Tindakan KKN ini akan menghambat pembangunan ekonomi yang dijalankan, yang tadinya optimal menjadi sulit berkembang, kemudian terjadinya pemberian berbagai hak istimewa kepada para pelaku ekonomi tertentu dengan cara menurup peluang bagi pelaku ekonomi yang lainnya adalah dampak negatif dari KKN yang membatasi partisipasi masyarakat dalam bidang ekonomi. Sementara itu dalam bidang politik, KKN juga menyebabkan munculnya diskriminasi dalam pelaksanaan pelayanan publik dan diskriminasi hak politik yang dimiliki oleh masyarakat, hal ini terjadi dikarenakan praktik KKN sering dijadikan cara oleh oknum-oknum tertentu untuk kepentingan politik yang biasanya marak terjadi pada birokrasi pemerintahan, karena praktik KKN ini kebanyakan dilakukan oleh oknum yang berkuasa karena mereka dapat lebih mudah dalam menjalankan keinginannya dengan cara memanfaatkan kekuatan politiknya dengan tujuan mendukung afiliasi politik mereka sendiri, hukuman yang diberi oleh Lembaga pemerintahan seperti KPK juga tampaknya masih belum membuat para oknum pelaku praktik KKN ini jera, karena sampai saat ini pun masih ada yang kerap melakukan praktik KKN dan tampaknya pemerintah harus lebih tegas dan sigap lagi dalam menghadapi permasalahan yang cukup serius ini agar tidak ada lagi masyarakat dan pelaku ekonomi dan politik yang dirugikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H