Lihat ke Halaman Asli

Mundur Karena Sepakbola

Diperbarui: 26 Desember 2015   16:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

www.teenage-corner.com

Dimana rasa kemanusiaan itu berada ? pertanyaan itu muncul dalam pikiran saya, ketika saya membaca tentang nyawa yang menghilang akibat bentrok dua suporter (pendukung) sepakabola Surabaya (bonek) dan Malang (Aremania). Tawuran dua suporter fanatik itu terjadi di dua titik berbeda di Kabupaten Sragen Jawa Tengah, dua orang tewas, Sabtu 19/12/2015.

Bukan pertama kali peristiwa ini tejadi, rentetan kejadian bentrok antar pendukung sepak bola di tanah air mengakibatkan terengut nyawa dengan cara saya katakan sadis dan biadab ini. Korban meninggal dilakukan dengan cara keji, dikeroyok dan disakiti. Sepertinya cara itu sudah menjadi cara yang di “halal” kan bila tejadi bentrokan di antara 2 kubu pendukung sepakbola ditanah air yang saling bermusuhan.

Mengapa harus melakukan cara seperti itu ? dan mengapa kita menjadi saling bermusuhan? dalam sepakbola memang ada rivalitas, tapi tidak buta. Dalam mendukung timnya masing-masing pendukung boleh-boleh saja untuk total memberikan dukungannya. Tetapi mengapa harus saling bermusuhan, saling menganiaya? Kemana larinya rasa kemanusiaan? mereka hingga tega sampai harus menghilangkan nyawa sesama. Padahal sudah jelas dalam sepakbola tedapat nilai-nilai kemanusiaan yang harus dijunjung tinggi.

Lihat saja fair play dalam sepakbola merangkum banyak kebajikan universal. Ia merangkum nilai adil, etika dan toleransi. Sepakbola menolak setiap bentuk tackle keras yang berpotensi mencederai lawan seperti halnya juga berlaku bagi para pendukungnya,pun pengelolanya dan yang peduli pada sepak bola untuk tidak saling mencederai sepakbola.

Fair Play adalah sari patinya olahraga dan keniscayaan bagi perdamaian atau kelangsungan olahraga yang membawa kemaslahatan ungkap Philip Noel Baker pemenang Nobel perdamaian. Dan Fair Play “memberikan kepada olahraga kualitas kemanusiannya” ujar Rene Maheu, mantan Dirjen UNESCO.

Bagaimana sebuah penghargaan tinggi dan terhormat diperoleh dari sepakbola, lihat saja dengan cara Jepang atau Korea Selatan bermain sepakbola. Mulai dari pemain para pendukung, petinggi sepakbolanya, pemerintahnya mereka memperlakukan sepakbola dengan penuh rasa hormat. Hasilnya mereka masuk pada kelompok negara papan atas sepakbola dunia.

Dan mereka sukses sebagai penyelenggara piala dunia. Nilai-nilai kemanusian dalam sepakbola oleh mereka sangat diperhatikan, sehingga tidak memunculkan banyak persoalan yang dapat menghambat perkembangan sepakbola itu sendiri. Bagaimana kita? Frans Beckenbauer, legenda sepakbola Jerman, menyebut sepakbola sebagai refleksi sebuah bangsa.

Sepak bola bukanlah segala-galanya, masih banyak persoalan besar yang harus diperbaiki dinegara ini, namun untuk mewujudkan sepak bola kita berprestasi (beradab), sepakbola kita harus terus bebenah, tidak hanya membangun infrastruktur yang lebih memadai, kemudian membentuk atau mengembangkan kompetisi sepakbola profesional yang bersih.

Lantas menjalankan kompetisi usia muda agar pembinaan usia dini berjalan dan klub mempunyai akademi yg berjalan. Namun harus menjadi perhatian besar, harus dilakukan cara secara khusus, lebih mendalam lagi untuk para pendukung sepak bola tanah air agar ditekan perilaku negatifnya. Jangan sampai oleh sepakbola malah acapkali dibutakan nafsu, dan bangsa kita tercermin seperti bangsa terbelakang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline