Lihat ke Halaman Asli

syafruddin muhtamar

Esai dan Puisi

Perempuan Berwajah Rembulan I - IV (Puisi)

Diperbarui: 27 November 2022   16:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pexels.com

PEREMPUAN BERWAJAH REMBULAN I

Hanya doa penyembuh pucuk daun yang sobek di telapak tangan, ketika bulan yang seharusnya jatuh di bening air, tetapi terluka tersayat diamku dalam gelisahmu. Dengan segala yakin bahwa matahari tidak akan sia-sia sebagai jelmaan dewi, terbenam dalam semesta kerinduan.

Batin menyimpul rambutnya dengan kalimat-kalimat sajak. Membasuh wajahnya dengan bintang-bintang luruh dari langit. Dari tarian beriring angin, tidak ada sejarah hidup yang tersembunyi, sebab matamu berisyarat waktu akan bernyanyi, lalu dari rahim rindu, aku lahir sebagai seorang tua yang sanggup menelan nafas bermil-mil tahun.

PEREMPUAN BERWAJAH REMBULAN II

Titik waktu yang menunggu di matamu, menceritakan abad abadi pada sejarah yang segera terekam. Walau renyah tawa adalah keraguan, karena itu: isyarat kepunahan prasasti pada raga. Tetapi kita telah melukis keyakinan di kelopak mata dengan seribu keindahan bulan. Kita ramu dalam puisi pohon-pohon agar embun tetap setia di ujung daun.

PEREMPUAN BERWAJAH REMBULAN III

Sebagai bisu di matamu aku eja dalam senyap, kujadikan mimpi dan kukendarai arungi hari menuju ke titik di jantungmu yang bayi, sebagai hasrat dalam nafas sejarah zaman ini. Aduh ibu, dia diam ketika kujelmakan semesta di ubunnya.

PEREMPUAN BERWAJAH REMBULAN IV

Senyum yang di kelopaknya berbuah embun menetes perlahan melukis keabadian dan awan menyimpan badai kerinduanku. Mengunyah lautan dengan gelombang kegilaan cinta menjadi riak-riak puisi tanpa kata. Senyummu makna seribu tulus menjelma semesta kanak-kanakku; ibu membelai dalam dekap doa-doanya, tawa lepas terasa tak ada waktu tak ada ruang. Ayah mengarak aku di padang kasihnya dan bercumbu dengan bulan pada malam yang mendendang tembang segala damai.

Aku adalah pengemis itu di hadapanmu berpakaian compang-camping; memohon telaga kehidupan. Telah uzur aku menggelandang menyeret dahaga, kini biarkan mulut ini menghisap embun di jemari bundanya, sembari merebahkan rapuh jiwanya dalam rengkuh asmara yang sejati.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline