KELEBAT JUMPA SESAAT
Kotak-kotak televisi tersusun rapi, membentuk bangunan sunyi dalam diri. Botol-botol parfum berbau angin sebab pada semesta rindu rumput-rumput tak lagi berwaktu untuk tumbuh. Raga terpasung suara riuh suara bising bengkel pencetak angka-angka. Nyanyiku menjadi asing pada radio yang terpojok di sudut ruang. Hanya lempeng rindu makin menjadi bara dalam api tangis, jatuh dari perjumpaan sesaat. Cintamu mengabadikan wajah kita, dalam bingkai bulan nampak sunyi di kaki seribu malam.
KETIKA HUJAN DAN ADA BULAN
Kenangan kepada S
Darahku tumpah dari langit, jelmaan diam yang purba terpendam: hamil segala rindu yang dendam. Tercium wajahmu masih beraroma bayi. Doa perlahan mengalun lewat nyanyi; semoga bulan pada rupa itu purnama lestari, agar cinta di sayap merpati mengepak abadi. Dan adalah rahasia perjalanan waktu, irama kepak sayap sesaat di sela ranting-ranting, ketika hujan dan ada bulan kau menyelipkan bunga di saku jiwaku. Bahasa mati di kelu lidah. Senyummu anak-anak sungai yang meliuk-liuk di sukmaku, saat itu. Hujan masih saja tumpah ditemani cahaya gerimis bulan.
PENGGAL MIMPI
Jagat yang aku cipta di meja peraduan bumi, melahirkan langit retak-retak makna. Matahari dan bulan menjelma boneka, yang di etalase terpajang tanda-tanda tak berkabar. Kemana arah pengarak jenazah? Terompah itu memecah hening telinga, hingga biji mata berdarah-darah; menahan cakaran gagak hitam pada tubuh. Dan masih saja kita setia dengan kartu mati, terpasung pada jemari. kesombongan tiada henti mengalir pada sungai-sungai. kita enggan membuka lembaran pohon-pohon pada lembah, yang mengandung seribu kesabaran. Hanya satu titik pasti ujung nafas: saat mimpi terpenggal maut.
#Sumber puisi: Syafruddin (shaff) Muhtamar, Sujud, Kumpulan Puisi, Penerbit Pustaka Refleksi, 2007.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H