SANG TERORIS MEMELUK BULAN DENGAN MATA GAMANG
Aku melihatmu diseret ribuan tangan sebagai terdakwa ke pengadilan bumi, yang musimnya tidak lagi menumbuhkan rerumputan, juga mengusir nyanyian burung baik pada waktu pagi atau pada waktu petang. Kau dituduh mata boneka telah meledakkan ribuan kepala tak berdosa atas nama Tuhan, membakar rumah-rumah suci atas nama kesucian. Ribuan kepal tangan meninju langit, mengenggam amarah dan meneriakkan namamu dengan nafas kebencian. Menuntut keadilan hakim yang jubahnya disulam benang undang-undang yang dipintal di bawah telapak kaki raja.
Aku melihatmu duduk di kursi pesakitan mengangkat dada pembelaan, membekukan jari-jari menjepit ayat-ayat suci, mengacung ke udara dan mengguncang sunyi disetiap hati yang diam. Tetapi tuduhan meruncing dan sepurnama lagi tajamnya akan menghujam ke ulu hatimu. Kematian akan menghantarkan hingga di depan pintu surga aganmu. Suara pembelaanmu terbang bersama angin kemarau yang bertiup bersama gerah musim yang muncul dari rongga terompah sang raja.
Aku melihatmu termenung dalam gelombang udara hampa jeruji jiwamu yang pengap, menanti eksekusi mati yang keputusannya diteriakkan mulut palu sang hakim diantara senyuman para pencari keadilan yang berjejer antri di atas jembatan hukum untuk dilalui dewi keadilan menemui kehidupan mereka. Matamu kosong diisi ketidakmengertian berlari-lari sempoyongan mengitari kesadaranmu. Kepalamu tengadah ke langit-langit semesta bisu yang mendekap misterinya dengan tenang dan tak terjamah, desah jiwamu berkata :
Keadilan
Dari manakah engkau datang!
Tiba-tiba kepala palu persidangan
Memutuskan kematianku
Setelah usai purnama, besok
Dimana matamu!