Lihat ke Halaman Asli

syafruddin muhtamar

Esai dan Puisi

Nyanyian Lirih 1001 Malam

Diperbarui: 13 April 2022   15:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tirto.id

Gumpal asap, teriakan bom dan bau mesiu warnai langit dan bumi negeri seribu sumur minyak. Negeri yang tergeletak seperti gelandangan terbuang di panggung abad. Segerombolan perampok bertopeng hitam melewati teluk perbatasan, melepaskan peluru, bom dan roket pemusnah ke setiap sudut negeri. (Awan duka mengarak air mata menuju setiap kalbu)

Kepul api ladang-ladang minyak, gemuruh suara tank dan desingan amunisi penuhi udara negeri seribu satu duri. Negeri terlentang tak berdaya di tengah trik nafsu abad. Sekumpulan preman berikat kepala merah melampaui derajat kebuasan anjing liar menyerbu bangkai-bangkai yang tersimpan  di penjuru negeri. (Badai amarah menyeruak dalam jiwa malam yang hening).

Peti jenazah peradaban diarak berkeliling dunia; sebuah kematian yang diawali jerit ketakberdayaan. Tirani menancapkan kuku-kukunya sedalam akar pohon kurma yang berdarah di negeri seribu satu pilu. Warna padang pasir padam tercampur darah dan air mata, mengalir entah sampai kapan. Musim diam seribu bunyi, dan bulan sabit tidak akan purnama. 

Malam begitu  pekat menyayat jiwa yang bayi, sebab siang menyembunyikan  kepastian nasib dibalik reruntuhan istana sejarah yang diperebutkan nafsu. (Burung nazar berpesta menikmati bangkai dipelupuk awan hitam berbau dendam).

Ribuan orang menjadi pengungsi, meninggalkan nyanyian puisi di tanah kelahiran, menyimpan kenangan bunga-bunga kesatria yang tumbuh di medan suci. Kenangan lembah-lembah hijau yang disuburi ilalang pengetahuan selama berabad-abad pada waktu yang terkunci didalam museum nostalgia. 

Pengungsi berarak bergerak seperti barisan unta kelaparan di gurun pasir terbakar matahari. Diantar ribuan mata dari seluruh penjuru benua yang bisu, berpindah dari bunker-bunker derita menuju oase penuh belukar ketidakpastian hidup. (Angin  gurun bertiup lirih menyanyikan duka yang nyata, menghempaskan  harapan jiwa pada lipatan-lipatan kepedihan).

Anak-anak kehilangan bunda tempat asa mengadu, ibu-ibu kehilangan anak-anak tempat jiwa merangkul bahagia dan ayah tak lagi berarti, sebab rumah ketenteraman hanyut bersama denyut kematian, yang berlangsung setiap azan selesai dikumandangkan. 

Deru peperangan liar terus mabuk meluluhlantakkan masa depan yang terbersit dari jemari yang mengokang senapan. Penyesalan tertimbun kebiadaban yang menyala setelah penandatanganan kesepakatan untuk membunuh. Peperangan diabadikan dalam bilik jiwa para pecundang. (Miris desah yang meriak dari lorong-lorong kota yang sunyi dan suram sudah, setiap pandangan menjadi saksi atas luka zaman)

Negeri seribu satu malam hanya mampu menyanyi lirih bersama irama peperangan anak-anak manusia yang tahu arti sepenggal cinta. Sendu sajak-sajaknya melantunkan bait-bait mesopotamia yang terbuang. Dan ritme kepiluan dinasti yang telah melahirkan decak kagum sepanjang abad.

Sumber: Syafruddin (Shaff) Muhtamar, Nyanyi Lirih 1001 Malam (kumpulan puisi), Penerbit Pustaka Refleksi, 2008.  Puisi ini telah mengalami pengeditan ulang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline