Lihat ke Halaman Asli

syafruddin muhtamar

Esai dan Puisi

Zaman Tanpa Pesona Kesucian

Diperbarui: 3 April 2022   16:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Image : 99.co

ZAMAN TANPA PESONA KESUCIAN

Aku orang tua cemas, saksikan anak gadisnya ditelanjangi tangan zaman. Anak-anakku berjalan tanpa rasa salah, kemana-mana tanpa busana. Zaman kehilangan mata hati, peristiwa mengalir dari sungai nafsu meluap-luap. Cawan hati dunia kosong anggur yang dipetik dari ladang-ladang kitab suci. Etalase peradaban ditumbuhi kembang-kembang plastik tanpa akar, tanpa matahari pagi, tanpa air. Anak-anakku bergerak ke sana, seperti laron mengerumun cahaya semu malam hari. Indah dunia gemerlap menyilaukan jiwa yang ranum: sebuah generasi tertipu logika zaman instant, berjalan dengan mata gamang dan kalah.

Aku orang tua cemas, saksi anak zaman berlomba pajang aurat di sudut-sudut swalayan sejarah, tempat harga diri digadai dan hasrat kemanusiaan diperjualbelikan. Selembar aurat dipertontonkan atas nama kemewahan  masa kini, dan sehelai aurat ditawarkan untuk memastikan masa depan. Nasib generasi kini adalah ceceran aurat dihamparan panggung drama modern, diperdagangkan zaman yang hilang daya pesona kesucian.

Aku orang tua, saksi atas generasi bunga muda yang layu sebelum kesempurnaan sejati menghampiri kelopaknya, memberi warna keindahan khas generasi yang mekar dari siraman kalimat-kalimat suci. Menyaksikan generasi diombang-ambing gelombang zaman. Zaman yang dipoles tangan-tangan bimbang tentang yang Sejati. Zaman dipenuhi nafas keraguan kerja manusia gamang akan dirinya sendiri. Zaman ragu, anak-anakku hidup dalam pasungan ketidakmengertian.

Aku sudah tua, kecemasanku bungkuk tertatih-tatih. Zaman melaju terus memastikan kebodohannya. Anak-anakku tetap setia dibelakangnya sebagai bayangan bisu.

Aku telah tua menyaksikan kecemasanku sendiri. Dunia tertawa, memadangku seorang tawanan terkulai di balik jeruji ketidaksanggupan, mendekap rasa salah yang sia-sia. Zaman juga menelanjangiku dalam kekalahan melawan seram dan ganasanya.

Aku orang tua yang segera mati setelah urat malu putus tidak lagi bisa tersambung. Tanganku tergeletak letih menanggung derita malu sekejab. Malu menumpuk  selama jutaan purnama pada zaman yang tanpa rasa berdosa ini.

 

Sumber: Syafruddin (Shaff) Muhtamar, Nyanyi Lirih 1001 Malam (kumpulan puisi), Penerbit Pustaka Refleksi, 2008.  Puisi ini telah mengalami pengeditan ulang.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline