SALAH SATU sumber pendapatan asli daerah (PAD) berasal dari pajak dan retribusi. Dan nampaknya, besaran PAD kini dijadikan ukuran dalam menilai keberhasilan pembangunan di daerah. Karena itu, tak mengherankan bila sejumlah pemda di Sulsel telah bergeliat melakukan penganekaan pungutan dalam wilayahnya, yang tentunya dilakukan dengan terlebih dahulu mengeluarkan perda. Untuk memperoleh pendapatan dari reklame misalnya, Pemkab Wajo mengeluarkan Perda Perda No. 12 Tahun 2006 dan Kabupaten Luwu mengeluarkan Perda No.7 Tahun 2007. Menariknya karena kebijakan tersebut bukan hanya dikenakan pada reklame yang menetap tapi juga yang melekat pada dinding mobil box. Kendaraan mana digunakan oleh para pedagang untuk berkeliling membawa dagangannya. Akibatnya, seorang pedagang dapat membayar satu macam pajak reklame hingga berkali-kali sesuai jumlah daerah yang jadi rute perjalanannya. Belum lagi mereka masih harus membayar sejumlah retribusi seperti di jembatan timbang yang ada di sepanjang jalan trans Sulawesi atau pungutan yang ada di pasar. Dan semua itu jadi beban tersendiri bagi mereka seperti yang dikeluhkan oleh Benyamin.P.Maraya dari PT. Star Omega Lestari – Makassar. Salesman ini harus membayar pajak reklame di Kabupaten Wajo dan Luwu. Setibanya di Kota Palopo, Ia masih harus membayar sumbangan yang dikenakan bagi mobil box. Belum jelas bagi saya, apa yang jadi dasar hukum pengenaan sumbangan di Kota Palopo itu. Karena tidak dicantumkan pada sticker tanda pelunasannya. Berbeda halnya, dengan pengenaan pajak reklame di Kabupaten Wajo dan Luwu yang secara jelas mencantumkan perda yang dijadikan dasar hukum pungutan. Entah apakah pencantuman dasar hukum bukan sebuah keharusan? Yang pasti, penyelenggaraan pemerintahan kini telah memasuki era keterbukaan sehingga segala informasi harus mudah diketahui oleh masyarakat. Termasuk pula sumber hukum yang dijadikan dasar sebuah pungutan. Tidaklah dapat dibantah bahwa aneka pungutan itu, memiliki kontribusi bagi pengisian PAD, yang tentunya akan dimanfaatkan untuk membiayai kegiatan pembangunan di daerah. Ini berarti bahwa masyarakat di daerah bersangkutanlah yang kelak menikmatinya. Akan tetapi, hal itu akan berakibat harga barang menjadi lebih mahal. Sebab para pedagang itu akan menaikkan harga untuk menutupi biaya yang telah dikeluarkan untuk membayar aneka pajak dan retribusi itu. Dan kiat itu menjadi hal yang lumrah saja bagi saya, sebab tak seorang pun pedagang yang ingin menanggung rugi kendati kerugian itu adalah risiko dari dunia perdagangan. Olehnya itu, sebelum melakukan penganekaan atas pengenaan pajak dan retribusi maka mestinya pemda terlebih dahulu melakukan studi kelayakan baik berkenaan dengan macam pajak yang akan dikeluarkan maupun besarannya. Hal tersebut dimaksudkan guna menghindari lahirnya kebijakan yang mirip sebilah pisau bermata dua. Memenuhi target capaian PAD tapi justru mendongkrak kenaikan harga. Selanjutnya siapa yang rugi? Wassalam catatan gambar di atas dijepret usai Benyamin.P.Maraya berkeluh-kesah pada tanggal 4 November di Palopo, sulsel
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H