Lihat ke Halaman Asli

hikbal pane

menyukai bunga; ekspresi, mekar dan bebas.

Laki-laki Harus "Ini" dan "Itu", Siapa yang Suruh?

Diperbarui: 25 Oktober 2022   15:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Soal mengapa laki-laki harus melakukan ini dan itu, harusnya menjadi pertanyaan universal. Seseorang, khususnya laki-laki berhak mempertanyakan kembali, standar darimana "harus tegar, tidak menangis, pantang menyerah, berharga diri tinggi, berada diatas perempuan, dan menjadi pemimpin" yang seringkali dilekatkan pada laki-laki?

Banyak orang mengalami blunder dalam memahami. Katanya kodrat, namun hanya konstruksi sosial dalam melahirkan pembagian peran gender. Sebagian juga melanggengkan pernyataan tersebut, sebab semuanya berakar dari kondisi biologis yang mumpuni. Tapi, satu poin yang terlupa, adalah bahwa tidak semua laki-laki terlahir dari keluarga/lingkungan yang memiliki konstruksi maskulin sama. Ragam gender ini harus dipahami bersama, bahwa tidak ada yang lain dan menyimpang, sebab semua tumbuh pada latar belakang yang berbeda.

Istilah yang popular belakangan ini ialah "toxic masculinity", merujuk pada beberapa kelompok orang yang kurang mewajarkan ekspresi feminin dari seorang laki-laki. Tentunya ini bentuk kritik sosial. Sebenarnya tak ada yang salah pada konstruksi maskulin ataupun feminin, itu adalah gender bawaan dari masa lampau yang jika diterapkan pada masa sekarang, relevansinya masih dapat dilihat. Tapi glorifikasi pada gender biner membuat ekspresi gender menjadi kaku dan di kotak-kotakan. Hal ini tentu saja menjadi masalah, apalagi ketika ada diskriminasi kepada yang terlihat berbeda.

Saya akan mencoba merangkum paradigma soal kejantanan ini. Sebab, entah mengapa laki-laki mau tidak mau harus tunduk pada hirarki kejantanan dan mencapai term "macho" agar diterima pada masyarakat. Jika argumennya adalah kondisi biologis, toh tidak semua laki-laki memiliki fisik yang lengkap, kuat dan sehat. Malah sebaliknya, beberapa wanita diberikan fisik yang kuat dan mumpuni jika harus mengerjakan sesuatu yang biasanya milik laki-laki. Tentunya ini menjadi pertanyaan bersama, apakah benar kejantanan atau maskulinitas hanya milik laki-laki?

Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan kritis yang telah diurai, fenomena soal maskulinitas dan ragamnya tetap harus diangkat sebab banyak yang terdiskiriminasi. Sengaja atau tidak sengaja, seseorang harus dengan bebas berekspresi mengikut tuntutan hasrat gendernya. Apakah dia seorang laki-laki dan bergender feminin? Apakah dia seorang perempuan dan bergender maskulin? Apakah dia bukan maskulin dan feminin? Sehingga kita harus sedikit usaha memanggilnya bukan dengan sebutan "him/she"?

Lainnya, paradigma yang diangkat dari segi kehidupan sehari-sehari. Mungkin sebatas permainan masa kecil? Yang entah mengapa diberikan gender khusus. Misalnya bermain bola dan lomba lari adalah permainan khusus laki-laki dan masak-masakan juga menari adalah permainan khusus perempuan. Hal-hal sedari kecil ini yang membentuk dan terus mengonstruksi seorang individu untuk mengidentifikasi dirinya memiliki gender yang bagaimana. Tapi, hal itu tampak menyedihkan ketika ada individu yang merasa terperangkap pada badan yang salah: seperti seorang perempuan dan memiliki gender maskulin. Akan sangat rentan menerima olok-olokan.

Di era sekarang, saat massive-nya penggunaan media digital, seseorang dapat mengungkap identitas dirinya dengan bebas. Sehingga hasrat-hasrat untuk menunjukkan idealisme, gender asli, atau sekadar menampilkan perlawanan atas budaya yang telah mapan, mewabah. Kita dapat melihat pada banyak jenis platform media sosial, banyak remaja-remaja yang mencoba speak up soal identitas diri. Remaja laki-laki yang menari, menunjukkan tutorial make up, memberikan tutorial memasak makanan, yang kemudian panen olok-olokan dari orang-orang. Masyarakat seolah mengambil peran sebagai polisi moral dalam membenahi moral yang rusak, padahal pemahaman yang selama ini mapan, adalah akar dari segalanya.

Tak ada pemakluman, tak ada pengertian. Kemudian, pada bidang fashion. Masa sekarang, kita kenal fashion adalah suatu bidang yang cair. Cair maksudnya ialah melebur antara dua gender:maskulin-feminin, demi menghasilkan corak-corak dan inovasi baru. Hal ini di bersamai dengan merebaknya tren cat walk di zebra cross pada wilayah-wilayah perkotaan. Salah satunya adalah SCBD, banyak remaja tanggung dari banyak kota di sekitar Jakarta yang datang dan meramaikan daerah tersebut. Satu yang harus dilihat, sebab sangat mencolok adalah fashion mereka yang amat beragam dan unik. Relevansi toxic masculinity akhirnya melingkupi fenomena ini, sebab ada beberapa remaja laki-laki di SCBD yang berpakaian feminin dan kemudian ditangkap guna mendapat bimbingan karena diduga mengalami degradasi moral. Ini lucu dan miris, sebab soal ekspresi saja dibatasi.

Bersamaan dengan ini, masyarakat diluar sana juga terus melahirkan nilai-nilai maskulinitas yang kaku. Menuding yang tidak-tidak pada individu berbeda dan melontarkan kata-kata keras sambil mengaitkan prilaku dengan norma dan agama. Saya menulis seperti ini, guna menilik isu-isu hangat yang ada di depan mata tapi dianggap nir urgensi. Kalau saja kesadaran edukasi diri terus ada, tentunya takkan muncul kesalahpahaman dan saling tuding. Sebab, pada intinya manusia adalah hewan yang berprogres, baik-buruknya adalah pergerakan dari titik awal. Fenomena toxic masculinity adalah sekian dari banyaknya keberagaman yang tercipta atas kompleksnya hidup manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline