[caption id="attachment_291951" align="aligncenter" width="467" caption="dok. pribadi"][/caption]
Judul buku : Ziarah Batanghari
Penulis : Jumardi Putra
Penerbit : Ayyana, Jogjakarta
Tanggal terbit: September, 2013
Jumlah halaman: xxviii+82 hal
“…disini, negeri beranak sungai, angin muson adalah biduk yang lihai menjemput dan memulangkan kerinduan. Maka, datanglah!” (hal.7)
Penyair adalah saksi hidup dialektika waktu. Jumardi Putra adalah penyair muda yang memiliki kesadaran kuat akan hal itu. Jumardi dengan kesadaran penuh, berusaha menceburkan diri dalam pergulatan dialektika ini, tentang bagaimana memahami perasaanya sendiri dalam lokus-lokus ke-Jambi-an. Unsur subjektivitas ini adalah suatu sikap yang memihak dan dipengaruhi oleh pendapat pribadi serta nilai-nilai yang melingkupinya. Dialektika dalam proses interpretasi. Sungguh tepat, bila C.W Watson Emeritus Professor University of Kent, United Kingdom dalam Endorsement buku ini, mengatakan bahwa penulis mampu mengungkapkan hasil renungannya terhadap sejarah dalam bentuk keindahan dan langsung memikat hati pembaca.
Jumardi telah menelusuri suatu proses yang panjang dalam sebuah pencahariannya, sehingga ia menemukan sebagai apa yang disebut realitas puisi. Ia kian semakin sadar akan kemampuannya menangkap dan berpegang teguh pada realitas ke-Jambi-an nya, sebagaimana terlihat dalam sajak “Kampung Ini Tak Menarik Lagi.” (hal.36) dan sajak “Riwayat Pencarian” (hal.37).
Sejarah, dalam mengungkapkan faktanya membutuhkan interpretasi. Interpretasi melibatkan subyek. Dalam subjektivisme, dimana objek tidak lagi dipandang sebagaimana seharusnya, tetapi dipandang sebagai kreasi dan konstruksi akal budi. Subjektif diperbolehkan selama tidak mengandung subjektivistik yang diserahkan kepada kesewenang-wenangan subjek. Konsekuensinya tidak lagi real sebagai objek. Jumardi seolah-olah mengalami sebuah perjalanan bolak-balik antar dua kutub: subjektivitas translokal dan objektivitas waktu, ini terekam jelas dalam sajak “Di Jambi, Apalagi yang Kau Cari?”(hal.9) dan di sajak “Tak Hilang Melayu Jambi”.(hal. 10)
Penulis buku ini bukan hanya mencatat namun berusaha memberikan makna pada sejarah, tradisi dan kearifan lokal yang sekian lama diabaikan, terkubur dan hilang. Bahkan dengan sengaja dihancurkan dan dihilangkan demi kepentingan pragmatis manusia modern, seperti dalam sajak “Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir” (hal.69)
Kumpulan puisi “Ziarah Batanghari” ini merupakan gambaran fotogenik dari kesan inderawi yang jernih, tajam dan lengkap. Penulis mampu menulis dengan baik, agar pembaca dapat terlibat penuh dalam fanorama puitik yang dihadapinya. Itulah pentingnya metafora, kiasan dan sejumlah ungkapan dalam diksi pilihan dalam menyampaikan gagasan puitik.
Buku ini sangat bergizi. Buku ini juga sebaiknya dibaca dua atau tiga kali seminggu. Pemakaian dan pilihan kata-kata yang sangat peka serta halus dalam kumpulan puisi ini memberi kenikmatan tersendiri bagi pembaca. sehingga pembaca mau membacanya berulang-ulang.
Akhir kata, saya teringat potongan pendek puisi yang pernah ditulis sastrawan besar Radhar Panca Dahana, dalam bait-baitnya:
“Maka, berkatalah. Bukan untuk mengerti tapi untuk menjadi. Susunlah kata-kata hingga ia menjadi hidup yang berwaktu dan bercinta. Susunlah ia jadi puisi, sehingga ia memanusiakan kamu, sebagaimana sejarah waktu ada pada mu, sejarah cinta membentukmu”.
Selamat membaca!
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H