Lihat ke Halaman Asli

Bahasa, Kampanye dan Kewajaran

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Sindiran tajam yang dilancarkan oleh Ketua Dewan Pembina DPP Partai Gerindra Prabowo Subianto kepada salah seorang calon presiden (Capres) dari partai lain, menimbulkan tanda tanya besar. Apakah ini reaksi emosional biasa atau suatu strategi kampanye? Ada sisi yang menarik ingin saya kupas disini.

Berikut asumsi saya memperjelas ini.

Kalian mau dipimpin boneka-boneka, mau punya presiden boneka?…bla.bla.bla” ujar Prabowo. Lihat portal beritanya di sini. Mungkin sebagain orang atau kalangan sudah tau dan mengangguk, sindiran itu ditujukan kepada siapa.

Ini komunikasi yang halus dan efektif. Jika ini digunakan untuk membenarkan serangan terhadap Capres lain, pernyataan ini mengasumsikan:


  1. Bahwa serangan ini dibenarkan dan bagian dari kewajaran
  2. Bahwa serangan ini bisa berfungsi sebagai cara yang sah
  3. Bahwa serangan ini secara khusus menciptakan persepsi negatif.

Pendengar akan terpencah menjadi dua kategori. Pertama, pendengar kritis, orang yang menerima informasi dan menganalisa informasi yang ia dengar. Kedua, pendengar pasif, ini kelompok pendengar paling besar sekaligus kelompok pendengar yang hanya mendengar tanpa ada usaha menafsirkan informasi yang didengar. Dan kebanyakan pendengar pasif akan langsung menerima ketiga pernyataan itu tanpa berpikir lagi. Apakah pernyataan itu benar atau salah tidak sempat dipikirkan lagi. Kita lihat untuk memahami makna tersirat sebuah pernyataan kita harus secara tidak sadar berasumsi bahwa pernyataan apapun yang tersirat dalam bahasa tersebut memang benar.

Mari kita gali lebih dalam lagi.

Seorang pendengar kritis yang sangat tangkas dan berpengalaman mungkin mengatakan: “Pernyataan itu didasari pendapat yang saya yakin keliru”. Bahkan orang yang berpendidikan tinggi atau yang sangat cerdas sekalipun sepertinya tidak mungkin mempunyai keterampilan linguistik setinggi itu.

Orang berpendidikan dengan opini bertentangan kemungkinan hanya merasa sangat tidak nyaman ketika membaca kata-kata tersebut. Penggunaan kata-kata tentu saja juga memperkuat pernyataan sebelumnya.

Hal ini terlalu berat diproses oleh otak.

Dampaknya begitu kuat sehingga bisa mengubah opini seseorang dalam sekejap. Orang yang opininya sudah diubah mungkin akan merasa sangat tidak nyaman pada awalnya, tetapi mereka mungkin merasa terdorong untuk menyampaikan persetujuan kecil.

“Hmmmm..itu bisa jadi benar… tapi” gumam pendengar pasif.

Nah, setelah me reka mengatakan satu kali, komitmen dan konsistensi mulai bekerja.

Ingat, kita mendasari hampir semua keputusan itu pada emosi dan membenarkannya dengan logika.

Nah, emosi hanyalah salah satu dari banyak faktor bawah sadar dalam membentuk keyakinan dan membaut keputusan. Otak manusia ahli dalam membentuk pembenaran logis atau tindakan dan opini yang ada. Semua itu dibentuk secara tidak sadar. Ingat kata-kata yang digunakan untuk komunikasi adalah sebuah model. Bagaimana bisa begitu. Ada tiga caranya:

1.Apa yang kita lihat dan dengar adalah gambaran yang tidak lengkap dan terdistorsi

2.Kata-kata yang kita gunakan untuk menggambarkan apa yang kita lihat tidak tepat.

3.Interpretasi kata-kata tersebut bagi pendengar aakan selalu berbeda dari maksud sebenarnya.

Begitulah bahasa mengendalikan kesadaran kita.

Salam




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline