Lihat ke Halaman Asli

Putik Bunga Semanggi

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

/1/di jalan Semanggi,

purnama tak utuh,

lalu meleleh

pada garis-garis waktu yang keriput

menyulam malam dalam dendam

mengeringkan lupa

bukan,

bukan komedi, kawan!

kami menyebutnya tragedi

_sejauh jejak menapak

di sini, tak jauh dari ingatan

anak-anak bumi berteriak parau

dihalau gas airmata dan peluru

dihujani mesiu

putik bunga semanggi,

bunga-bunga pertiwi yang menggigil

/2/ di jalan Semanggi,

mengelupaskan mimpi-mimpi,

dikulit tipis memori

kepul asap bedil murka

menyetubuhi anak-anak bumi

burung-burung gagak bersiul

lebih menyanyikan bau amis kematian

di beranda keangkuhan alat penguasa

putik bunga semanggi,

membatu di gerbang fajar

_ditanah yang aku huni

kuasa adalah ambisi

memakan anak-anak pertiwi

memakan mimpi

memakan matahari

jangan pernah kau berkhayal mimpi meniduri matahari, kawan.

tidak!

/3/ ditanah yang aku huni

kelicikan bekerja rapi

menculik dinginnya sunyi

bahkan menggigit pagi

entah bagaimana lagi

aku menafsirkan suara hati ini

_kini aku ingin menjenguknya lagi

meski hanya lewat puisi

mengukir ingat,

sesobek kenangan negeri ini

puisi dipersembahkan kepada para ‘pasukan moral’ korban tragedi semanggi 1998:

Yap Yun Hap, Teddy Wardhani Kusuma, Bernardus Realino Norma Irawan, Sigit Prasetyo, Engkus Kusnadi, Muzzammil Joko, Ugas Usman, Abdullah/Donit, Agus Setiana, Budiono, Dodi Effendi, Rinanto, Sidik, Kristian Nikijulong, Hadi, dkk.

Kawan, berteriaklah, walau dari di dalam kuburmu... !

sumber gambar illustrasi lihat disini

(Syafriansah Viola, Kuala Tungkal, 14 Mei 2014)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline