Lihat ke Halaman Asli

Irmawan syafitrianto

ASN (KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN)

Ironi Buta Warna di Negeri Berbineka

Diperbarui: 6 Desember 2017   14:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Nikmat sehat adalah yang paling berharga bagi tiap yang bernyawa. Bagi kebanyakan orang, sehat dan sakit itu pilihan. Bagi kelompok marginal tertentu disabilitas dianggap sebagai kutukan, takdir, sebuah kecacatan abadi karena diakibatkan oleh genetik yang tidak bisa disembuhkan. Manusia yang memiliki abnormalitas genetik seringkali mengalami hal-hal yang diskriminatif diberbagai lingkungan pekerjaan, sosial, dan finansial.

Penderita buta warna parsial memiliki jumlah yang sedikit diantara milyaran populasi manusia di bumi. Buta warna parsial merupakan kelainan genetik yang penderitanya konon memiliki gangguan penglihatan terhadap warna merah dan hijau. Gangguan penglihatan tersebut bukan berarti tidak dapat membedakan warna merah dan hijau, tetapi pada kondisi tertentu warna itu menjadi bias ketika dipadukan dengan banyak warna lain, serta pada jarak dan pencahayaan yang tertentu.

Bagi kebanyakan manusia dengan penglihatan normal, buta warna mereka anggap sebagai kecacatan yang memalukan. Mungkin ada yang beranggapan bahwa orang buta warna melihat uban tidak berwarna putih tapi kuning,  daun tidak hijau tapi merah, langit tidak biru tapi hitam. Kekeliruan cara memperlakukan penderita buta warna sepertinya adalah penyakit mental yang pengaruhnya lebih memalukan dari penderita buta warna itu sendiri.

"Buta warna" merupakan berkurangnya kualitas penglihatan terhadap warna tertentu. Istilah buta terlalu memojokkan, seolah-olah buta diartikan sebagai sama sekali tidak dapat melihat. Alangkah lebih bijak jika istilah buta diganti dengan lemah penglihatan. Perbandingan penderita buta warna untuk laki-laki adalah 1 : 12 dan 1 : 200 untuk perempuan. Jika penduduk Indonesia  laki-laki berjumlah 119.630.913 jiwa, maka diperkirakan 9.969.243 laki-laki penderita buta warna di Indonesia.

Diskriminasi terhadap penderita buta warna parsial sangat dirasakan oleh penderitanya, tertutama akses untuk memperoleh pekerjaan. Pesyaratan tidak buta warna sangat saklek, tanpa kompromi, dan diharamkan. Berbagai pengalaman buruk dirasakan oleh oleh penderita buta warna parsial saat mengikuti test masuk CPNS/TNI/Polri/BUMN (Baca di sini). Sangat miris, saat negara lain sangat masiv untuk mengkampanyekan peduli disabilitas, di Indonesia malah terjadi pengkucilan kelompok disabilitas. 

Test buta warna bagi calon pekerja biasanya terletak di bagian akhir test, yang sangat konyol ketika peserta test penderita buta warna memperoleh nila 0 (ya NOL) hanya karena tidak mampu menyelesaikan  test ishihara dengan baik. Padahal, tidak sedikit mereka memperoleh nilai tertinggi pada test Computer Assisted Test (CAT). NOL, ironis,  logika sederhana buta warna mungkin dianggap buta huruf dan capaian nilai tinggi itu mungkin dianggap faktor dukun dan keberuntungan.

Penderitaaan sesungguhnya bagi penderita buta warna adalah bukan karena mereka menjalani melihat kehidupan dengan warna sedikit berbeda dari manusia normal, tapi penderitaan psikis saat mengikuti test dalam memperoleh kesempatan kerja. Dalam pekerjaan, umumnya penderita buta warna parsial tidak memperlihatkan kelemahan yang mempengaruhi output kinerja. Siapa yang tak kenal dengan Mark Zuckerberg (juragan facebook), Bill Clinton (mantan presiden Amerika), Jhon Dalton (Ilmuwan kedokteran dan kimia), pangeran William (pangeran kerajaan Inggris).

Test mata pada proses rekrutmen tenaga kerja mestinnya tidak berakhir pada test ishihara, idealnya ada pengecualian bagi penderita buta warna melalui spesifikasi kondisi tertentu yang dapat menyebabkan penderita tidak dapat bekerja dengan hasil terbaik. Sangat disayangkan jika diantara 9 juta laki-laki buta warna di Indonesia diperlakukan kurang adil, padahal, bukan tidak mungkin diantara mereka akan ada calon pemimpin terbaik di negeri ini.

Sejauh ini, sepemahaman saya, belum ada wadah organisasi/lembaga di Indonesia yang dapat mengakomodasi kepentingan bagi penderita buta warna. Penderita buta warna sering tidak dianggap sebagai individu dengan disabilitas, mereka ibarat manusia normal namun asing, normal dalam perlakukan, asing dalam persaingan. Orang bijak tidak hanya mampu melihat dunia dengan warna berbeda, tapi juga mampu meramu perbedaan warna menjadi satu lukisan indah. Orang bijak akan menjunjung tinggi nilai keadilan dan mengistimewakan kertebatasan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline