"Wollohu a'lam bisshowab.." ucap Kiai Sadeli dalam menutup pengajian kitab kuning ba'da subuh di pagi itu. Namun, ada sedikit yang berbeda di pagi itu. Kiai Sadeli yang kesehariannya nampak berwibawa, dengan kopyah hitam yang selalu menjadi mahkota di kepalanya, entah kenapa pada penutupan pengajian pagi itu, beliau terlihat begitu gelisah, seakan ada suatu beban berat yang difikirkannya. Begitulah seorang Kiai, walaupun dengan keadaan hati sedang begitu hancur, namun tetaplah harus terlihat tegar saat memimpin suatu pengajian di hadapan para santrinya.
Pepatah mengatakan'' Sepandai -pandainya orang menyimpan bangkai, maka akan tercium juga baunya'', demikian pula Kiai Sadeli. Sepandai apapun beliau menyimpan beban di dalam benaknya, namun akhirnya terkuak pula. Kegelisahan Kiai Sadeli yang beliau pendam sekian lama ternyata bermula pada kejadian dua bulan lalu. Kejadian itu menimpa salah satu seorang santri yang begitu beliau sayangi. Agus itulah seorang santri yang setiap hari selalu membayang-bayangi hati Kiai Sadeli, Agus adalah satu-satunya santri yang menjadi kebanggaan beliau. Saat ini, hanya sebuah do'a yang sanggup mewakili beliau untuk menyertai Agus. Karena sudah hampir tiga bulan seorang santri yang amat beliau sayangi itu mendekam di dalam sebuah penjara.
Meskipun beberapa media massa sudah mengabarkan bahwa Agus telah melakukan tindak pidana pencurian sebuah handphone di suatu jalan dan ditangkap oleh polisi, namun banyak orang yang tak percaya bahwa hal itu benar adanya. Agus adalah pemuda terpandang dikalangan desa dan pesantren, sulit untuk menerima hal semacam itu, jika teringat kepribadiannya yang setiap harinya aktif kuliah dan mengajar di pesantren.
Semenjak kejadian itu, ibu Agus sering sakit-sakitan. Bapaknya yang hanya seorang buruh pabrik, hanya dapat menyisihkan beberapa uang untuk menghidupi seorang anaknya yang sedang berada dalam penjara. Begitupun Kiai Sadeli dan keluarga pesantren lainnya. Mereka sangat merasa bersalah dan merasa kehilangan seorang santri yang begitu mereka sayangi. Bahkan tak jarang Kiai Sadeli bertanya-tanya kepada dirinya sendiri.
"Apakah itu benar dilakukan oleh santriku?"
"Apakah polisi itu tidak salah orang?"
Dua pertanyaan itu yang selalu hadir di hati Kiai Sadeli manakala beliau mengingat Agus. Beliau begitu yakin bahwa Agus tidak mungkin mencuri hak orang lain. Dihati Kiai Sadeli, Agus adalah pemuda yang menjaga betul kehalalan terhadap segala yang ia miliki. Namun semuanya sudah jelas terjadi, Kiai Sadeli hanya bisa berdo'a dan meyakinkan hati bahwa semua ini adalah ujian Tuhan kepada santrinya.
Tiga bulan berlalu. Kiai Sadeli belum sekalipun mendapatkan kesempatan untuk menjenguk seorang santrinya yang berada di dalam penjara, dua minggu yang lalu keluarga Agus datang ke pesantren memberi kabar bahwa Agus baik-baik saja, dan kasus Agus sudah hampir di sidangkan. Dengan kabar itu,setidaknya hati Kiai Sadeli dapat tenang, meskipun beliau setiap harinya masih terbayang oleh sosok Agus. Semenjak hari itu, Kiai Sadeli selalu mendo'akan Agus di sela do'a di berbagai acara yang dipimpinya.
"Kriiiing.."
"Kriiiiing.."
Terdengar suara handphone Kiai Sadeli yang selalu beliau letakkan di ruang tamu, tentu saja agar beliau tak tersibukkan oleh handphonenya.