Lihat ke Halaman Asli

Agama Bukan untuk Publik

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Agama adalah kenyataan terdekat dan sekaligus misteri terjauh dalam perjalanan hidup manusia. Seiring berkembangnya teknologi, agama masih menunjukkan eksistensinya yang kuat. Agama menjadi hal yang tidak bisa lepas dari kehidupan masyarakat khususnya di Indonesia.

Ketika membahas tentang Agama di Indonesia, biasanya orang akan mengingat sila pertama, yaitu ketuhanan yang maha esa. Orang yang membaca teks pancasila secara tekstual akan beranggapan bahwa untuk menjadi warga Indonesia haruslah beragama.

Agama tidak lagi menjadi urusan pribadi seseorang, melainkan telah menjadi simbol dan parameter kewarganegaraan. Sampai-sampai agama harus dimasukkan ke lembaga pendidikan negeri.

Realitas yang terjadi adalah, tidak semua warga Indonesia beragama. Tidak sedikit warga Negara yang tidak menganut agama dan tidak mempercayai Tuhan. Lalu apa status mereka? Apakah jika di kartu tanda penduduk mereka tidak tercantum Agama, maka mereka tidak dianggap sebagai warga Negara Indonesia? Apakah mereka yang tidak bertuhan berarti melanggar sila pertama?

Hal ini selalu menjadi perdebatan dalam diskursus tentang keyakinan dan kebudayaan Indonesia. Kaum liberal mendukung ateis untuk tetap diakui sebagai warga Negara Indonesia. Dengan alasan bahwa beragama merupakan hak, bukan kewajiban. Sedangkan kaum fundamentalis Islam tetap menentang hal itu, dengan dalih bahwa ateisme bertentangan dengan Pancasila, yang merupakan landasan Negara.

Terlepas dari polemik kewarganegaraan, di Indonesia telah sering terjadi konflik yang dilatar belakangi oleh sentimen agama. Mulai dari pembakaran Gereja, pembakaran Masjid, kasus bom bunuh diri yang banyak memakan korban tak bersalah, penganiayaan Front Pembela Islam (FPI) kepada Jama’ah Ahmadiyah, kasus ditangkapnya PNS Minangkabau hanya karena pengakuan ateisnya, dan banyak kasus lainnya.

Konflik Agama semakin sering menjadi perbincangan publik, seakan menunjukkan sisi buram Agama yang selama ini dianggap sebagai pondasi moral bangsa.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi seakan tidak merupah perspektif masyarakat Indonesia terhadap agama. Karena Agama telah dianggap sebagai sisi lain yang harus dimiliki oleh setiap manusia. Agama dianggap sebagai kebutuhan spiritual yang harus dimiliki oleh setiap manusia. Oleh karena itu, spiritualitas agama hanya bisa dirasakan oleh orang beragama. Dan hal itu mereka anggap sebagai penyempurna dari makna kehidupan manusia. Keyakinan spiritual tersebut sangatlah subjektif, sehingga tidak bisa dibahasakan, apalagi dilembagakan.

Persoalannya adalah bahwa bangsa Indonesia dan sebagian besar masyarakatnya tidak bisa lepas dari pelembagaan agama, dan banyak orang yang sangat berkepentingan dengannya. Termasuk kekuasaan.

Sehingga yang terjadi adalah realisasi keberagamaan yang tidak pada tempatnya. Karena yang seharusnya menjadi urusan privat kini telah terlembagakan. Kemudian mereka yang fanatik akan sangat mudah untuk dimanfaatkan oleh orang-orang yang berkepentingan, yang akan melakukan apapun demi kepentingannya. Meskipun dengan menginjak hak asasi manusia. Meskipun dengan pertumpahan darah.

Sehingga seharusnya yang terlebih dahulu dilakukan adalah menetralisir seminimal mungkin pengaruh agama di wilayah publik dengan memberikan penyadaran secara terus menerus kepada masyarakat akan pentingnya menjaga hubungan kewarganegaraan dibandingkan dengan hubungan keberagamaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline