Bloggers. Kenal kan pada kota Bandung? Bandung, kota perjuangan. Pantas saja banyak “prasasti” perjuangan dikenang di kota ini, Ada Tugu Bandung Lautan API (BLA), ada Monumen Perjuangan Rakyat Jabar dll. Tentu saja nama-nama tokoh perjuangan pun tak ketinggalan. Dan umumnya nama mereka dikenang menjadi nama-nama jalan.
Supratman, sebuah jalan yang menyambung dari jalan Diponegoro (lokasi gedung RRI). Di sini ada rumah seniman Kreatif Harry Roesli. Dan masih di jalan ini terdapat toko buku Toga Mas dan Rumah Buku. Dua diantara sekian toko buku yang sering saya kunjungi–selain toko buku Gramedia. Karena Toga Mas dan Rumah Buku sering disertai discountnya yang lumayan keren untuk ukuran orang Bandung.
Nama jalan Supratman, dalam ejaan yang disempurnakan (1972) kalau dalam catatan sejarah terutama era Hindia Belanda (Van Ovuysen) ditulisnya Soepratman. Masih ingat kan mantemans dengan tulisan The Founding Father Soekarno–yang kemudian berganti menjadi Sukarno. Nah itu ejaan era tempo doeloe pakai “oe” bukan “u”. Jalan Supratman itu diambil dari nama tokoh pejuang pers WR Soepratman. Lengkapnya Wage Rudolf Soepratman.
Awalnya, aku mengira Soepratman itu orang Belanda atau keturunan Belanda. Termasuk isteriku yang mengira Soepratman itu orang Belanda, ya mungkin karena namanya pakai Rudolf. Benarkah begitu?
Ternyata eh ternyata…
Soepratman adalah bangsa pribumi. Kebetulan saja dia sempat menjadi anak angkat dari orang Belanda keturunan (Indo). Karena saudara iparnya adalah bangsa Indo Belanda. Meskipun sempat tinggal bergaul dengan bangsa Indo Belanda, Soepratman seorang pemuda pejuang nasionalis. Jasanya patut dikenang diteladani.
Jurnalis Pejuang
Uniknya WR Soepratman populer dikenal sebagai komponis atau seniman. Padahal Soepratman adalah pemuda pergerakan di dunia pers alias wartawan pejuang. Mungkin karena lagu ciptaannya “Indonesia Raya” lebih populer mengangkat harum namanya. Kongres Pemuda 28 Oktober 1928 yang menjadikan Lagu Indonesia Raya bergema telah membawa Soepratman dikenang sepanjang masa. Karena lagu ciptaannya itu menjadi Lagu Kebangsaan yang selalu dikumandangkan dalam acara-acara resmi upacara kenegaraan. Terutama setiap tanggal 17 Agustus, seperti hari ini dalam rangka peringatan hari Proklamasi Kemerdekaan yang ke- 68.
Bloggers, tahukah latarbelakang kelahiran lagu kebangsaan kita itu? Ternyata eh ternyata…
Awalnya WR Soepratman tergerak oleh adanya even lomba mengarang lagu yang diumumkan dalam sebuah artikel di majalah Timboel. Yang mengajak para komponis pribumi untuk menciptakan sebuah lagu nasional. Kalau bangsa Belanda memiliki lagu Wilhelmus, lalu bangsa Jepang memiliki lagu Kimigayo, dan bangsa Inggris memiliki lagu God Save The King (Queen). Mengapa bangsa pribumi kita tak memiliki lagu kebangsaan?
Maka WR Soepratman jiwanya tergerak untuk mencipta lagu. Indonesia Raya hasil gubahannya kemudian dikenal dan diterima dalam Kongres Pemuda serta dikumandangkan pada Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928. Jiwa seni Soepratman memang hebat, bukan hanya lagu Indonesia Raya, tetapi lagu-lagu lainnya dia hasilkan seperti PBI Mars, Surya Wirawan Mars, Raden Ajeng Kartini. Lagu-lagu karya WR Soepratman bercirikan nafas perjuangan.
Sayang, tak banyak yang tahu kalau WR Soepratman itu seorang pejuang dan berprofesi sebagai wartawan (jurnalis). Bukan seorang jurnalis yang bergaya mewah. Tapi jurnalis pejuang meminjam istilah Moechtar Lubis. Sebagai jurnalis dia hidupnya benar-benar prihatin. Bahkan Soepratman hidup banyak dalam penderitaan karena kekurangan materi dan bergulat dengan kesulita hidup. Penderitaan batin pun dialaminya karena tekanan jiwa merana karena tak bahagia dalam percintaan. Soepratman seorang jurnalis yangbekerja di majalah Sin Po edisi Minggu, yang dimajalah ini pula pertama kali lagu ciptaannya yang terkenal Indonesia Raya dimuat.
Keprihatinannya sebagai pejuang tampak dalam berpakaian. Apabila bajunya dijemur dia kelabakan karena harus mengunjungi rapat dalam waktu bersamaan. Kenapa? karena itulah satu-satunya baju yang dia miliki. Tak ada untuknya berganti. Pantalonnya dibuat dari kain murah berwarna putih yang sudah agak lusuh karena sering dipakai. Demikian pula baju jasnya. Dengan tambahan dasi lurik khasnya kalangan pergerakan “swadeshi”.