Lihat ke Halaman Asli

Penutupan Paksa Kampus Swiss German University: Ketika Sang Raksasa Kembali ke Dunia Nyata

Diperbarui: 3 Januari 2017   14:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi Pratiwi Andayani

Sewaktu saya kecil, saya sering sekali dibacakan kisah dongeng oleh orang tua saya. Saya ingat sekali kalau pada beberapa cerita terdapat tokoh “raksasa” yang ingin menghancurkan ketentraman sebuah desa maupun sebuah keluarga. Dan kisah itu pun kembali hadir di dunia nyata. Sayangnya, itu terjadi pada institusi tempat saya menuntut ilmu.

Pada hari Sabtu (17-12-16), kampus saya, Swiss German University (SGU) yang terletak di Edutown BSDCity disegel oleh sang raksasa. Didirikannya sebuah tembok penghalang di setiap akses masuk kampus. Penyegelan ini terjadi setelah Indonesia kalah 2-0 dari Thailand. Mungkin sang raksasa kecewa berat dengan hasil pertandingan sehingga harus menyegel bangunan kampus kami. Setelah diusut lebih jauh, ternyata sang raksasa tak hanya sedih dengan hasil pertandingan tetapi juga ia memiliki niatan untuk menguasai kampus kami. Perasaan sedih, kesal dan marah bercampur aduk pada malam itu bahkan hingga hari ini. Tapi kami bisa apa? Melawan pun sulit karena sang raksasa mengutus pasukan yang tak terhitung jumlahnya untuk melawan, sementara kami adalah civitas akademia yang mendahulukan otak daripada otot.

Kejadian pahit yang terjadi ini kalau dipikir-pikir sebenarnya ngga ada apa-apanya jika dibandingkan dengan manis yang saya rasakan dari pengalaman saya magang di Jerman semester lalu. Kalau ada yang pernah baca tulisan saya sebelumnya di blog saya pasti sangat tau kalau pengalaman saya dari mulai masuk SGU sampai magang di Jerman merupakan perjuangan berat tetapi juga sebuah mimpi yang jadi kenyataan. Berikut ini adalah tulisan yang saya buat ketika sedang menjalani magang di Jerman:

Masih jelas di ingatan saya ketika ayah saya menyarankan saya untuk berkuliah di universitas swasta itu. “Biar kamu bisa merasakan bagaimana rasanya hidup di Jerman” katanya. Waktu itu saya masih duduk di kelas 1 SD dan sejak saat itu saya selalu menuliskan nama universitas tersebut setiap saya disuruh menuliskan mimpi saya.

Sebelas tahun kemudian saya benar-benar berkuliah disana. Mulanya saya merasa jengah karena banyak tatapan dan komentar yang merendahkan saya tiap kali saya menyebutkan nama universitas tempat saya berkuliah. Karena konon katanya, universitas swasta lebih buruk daripada universitas negeri. Isinya universitas swasta itu hanya anak-anak bodoh yang orang tuanya memiliki uang banyak. Sempit betul pemikirannya. Mereka ngga tahu bagaimana saya berjuang menyamakan kepintaran saya dengan teman-teman yang notabene datang dari sekolah pengirim peserta olimpiade. Dan mereka juga ngga tahu bagaimana kedua orangtua saya berjuang agar saya bisa berkuliah disana.

Di tahun 2016 ini, mimpi yang dipupuk sejak belasan tahun lalu itu akhirnya benar-benar menjadi nyata. Sekarang saya sudah memasuki bulan ketiga saya tinggal di Jerman. Negeri yang katanya manusianya seperti robot dan tidak bisa berhenti makan sosis sambil minum bir. Negeri yang teramat maju yang populasi manusianya paling banyak di Eropa. Negeri dimana kebap dan es krim italia ada di setiap mata memandang. Selama 3 bulan ini saya telah mengikuti kelas pendek di sebuah kampus di kota kecil bernama Soest dan sekarang saya sedang menjalankan magang di sebuah toko keju ternama di Koln. Betapa jatuh cintanya saya dengan negeri ini, ingin rasanya tinggal disini lebih lama lagi nanti.

Mungkin bagi kamu perjalanan yang saya tempuh ini bukan apa-apa, tapi semua ini adalah sebuah anugerah untuk saya. Dari mulai saya menangis ketika semuanya merendahkan saya, lalu berubah menjadi senyum bahagia dan bahkan menjadi tangisan lagi oleh perasaan terharu akan mimpi yang menjadi nyata, semua itu saya syukuri dan sekarang saya akan segera bermimpi lagi, karena mimpi jadi nyata itu benar-benar ada…

Rasa senang dan sedih yang saya rasakan di tahun 2016 ini (bahkan hampir 4 tahun belakangan) saya lalui bersama kampus ini. Dari mulai terwujudnya mimpi saya untuk belajar dan magang di Jerman, dapat kesempatan untuk tampil menari disana, merasakan puasa super lama, lebaran tanpa keluarga dan upacara 17 Agustus disana, tidak ketinggalan jalan-jalan keliling Eropa dan pulang kembali ke tanah air untuk melanjutkan semester 7 yang amat menyiksa hingga menyaksikan bangunan kampus kami disegel oleh sang raksasa.  Untuk itu saya selalu berdoa dan yakin bahwa kampus kami, Swiss German University, dapat melewati semua masalah ini, sehingga SGU akan tetap bisa mewujudkan mimpi TIWI-TIWI yang lain di luar sana dengan atau tanpa gedung yang sebelumnya :)

*ps: saya sertakan beberapa foto saya selama berada di Jerman dan juga link tulisan saya selengkapnya tentang pengalaman saya disana:

1. Mimpi Jadi Nyata itu Benar-Benar Ada

2. Refleksi Magang

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline