Lihat ke Halaman Asli

Bu Maemunah; Masih Ada Pedagang Jujur

Diperbarui: 14 Juli 2016   12:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ketika perjalanan pulang kerja dari Menteng ke LA, karena lelah dan ngantuk aku sempatkan diri rehat sejenak di warung seberang TMP Kalibata. Ini kali pertama aku mampir ke warung itu. Secangkir kopi hitam ku pesan sama bu Maemunah si pemilik warung. Sambil ngopi aku sempatkan diri ngobrol dengan si ibu.

Bu Maemunah usia paruh baya telah belasan tahun berjualan di tempat itu. Ia jual berbagai hidangan yang berbahan daging/ayam seperti soto daging/ayam, sop iga dan lainnya. Hingga gado-gado dan karedokpun ada dan berbagai aneka jus buah segar.

Dari cerita si ibu, berbagai suka dan duka telah dilalui. Melihat sosok dan raut wajahnya, sepertinya ia pekerja keras dan ulet. Terutama menghadapi situasi sekarang ini. Harga bahan pokok tidak pernah turun. Terutama harga daging dan ayam. Harga daging masih tinggi pak, 1 kg sampai 130 ribu. Iga 80 ribu perkilo. Lah saya mesti jual berapa kepada pembeli ? kasihan mereka jika harga soto / sop iga tinggi. Saya juga tidak tega pak mau kasih harga berapa ke pembeli. Saya juga tidak mau rugi banyak. Demikian diceritakan si ibu. Dalam hatiku bertanya-tanya. Kenapa yah pemerintah hingga saat ini belum bisa menurunkan harga daging sapi. Harga daging sangat berpengaruh pada pedagang dan konsumen.

Banyak pedagang yang masih menaikan harga walau lebaran sudah lewat. Mereka memanfaatkan moment itu untuk meraup keuntungan besar. Untuk makanan berbahan daging, si ibu hanya menaikan harga sedikit, karena bahannya memang mahal. Walaupun harga di warung ibu tidak sebesar kenaikan harga pedagang lainnya.

Namun demikian beberapa pelanggan tetap ibu, yang notabene orang kaya duitnya banyak tetap memaksa untuk membayar dengan harga normal 10 ribu untuk 1 porsi soto. Harga yang sama dengan harga sebelum naik. Si kaya membeli dengan lembaran 100 ribuan tetap maksa minta kembalian 90 ribu. Walau rugi si ibu tetap melayani dan memberi dengan baik dan penuh ikhlas. Kata si ibu, nggak apa apa pak, saya ikhlas saja, toh tidak semua pembeli akan seperti itu. Nggak apalah kalau kita bisa berbagi dengan orang lain.  Kan kita dapat pahalanya.

Terus terang saja pa, lanjut si ibu. Saat ini saya jual gado-gado/karedok harganya tetap 10 ribu perporsi. Saya tidak menaikan harga. Terus terang saja itu karena harga sayuran juga tidak naik. Saya tidak mau membohongi konsumen. Masa saya menaikan harga seenaknya. Saya tidak mau anak-anak saya kasih makan dengan uang haram. Bukannya penjual berhak menentukan harga bu ? sahut aku.

Kita sih berjualan jujur jujur saja pa. Kalau memang harga sayurannya tidak naik, kan tidak mungkin harga gado-gadonya kita naikan pa. Walau gado-gado di pedagang sebelah harganya 15 ribu, tetapi si ibu harganya tetap 10 ribu perporsi.

Bagi saya pa, kalau berjualan ini, yang paling utama adalah dapat melayani pembeli sebaik mungkin. Jaga kebersihan makanan, memasaknya harus bersih. Kan tidak enak pa, masa setelah makan disini mereka terus sakit perut. Ya saya tidak mau seperti itu. Semua makanan harus dijaga kebersihannya.

Dari obrolan di warung bu Maemunah, ada beberapa point yang dapat dijadikan lesson learn, antara lain ;

Pertama : hidup harus saling berbagi tanpa memandang status sosial ekonomi. Ketika ada kesempatan untuk berbagi lakukanlah kebaikan itu saat itu. Berbuat kebaikan jangan pilih-pilih dan jangan ditunda-tunda. Tidak harus si kaya berbagi kepada si miskin. Berbagi kebaikan dapat dilakukan sebaliknya. Berbagi kebaikan tidak harus materi, tetapi sikap dan perilaku dapat dijadikan kebaikan untuk saling berbagi. 

Kedua: apapun pekerjaan atau profesi kita, kita harus melakukan dengan jujur dan penuh keikhlasan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline