Lihat ke Halaman Asli

Catatan si Kabayan Saba Kota

Diperbarui: 24 Juni 2015   05:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti dalam cerita si Kabayan saba kota (si Kabayan datang ke kota), saya sempat merasakan culture shock di beberapa minggu pertama saya  bekerja di kota besar. Ada hal-hal baik yg bisa saya ambil, namun tidak sedikit hal buruk yang saya alami dan tidak akan saya ajarkan pada anak saya kelak.

Belajar bergerak cepat merupakan pelajaran pertama yang saya dapatkan. Kalau tidak bergerak cepat, saya tidak terangkut bis kota dan terlambat tiba di kantor. Saya harus mampu mengelola waktu. Saya harus kreatif mencari cara untuk mengejar waktu dengan biaya seefisien mungkin. Alhasil, moda bis saya tinggalkan dan saya menggunakan kereta api: relatif murah, relatif nyaman, relatif tepat waktu, dan nyaris tidak pernah macet. (Catatan untuk PT KAI: mohon AC-nya lebih dirawat agar selalu adem)

Ikut antri menjadi suatu keharusan bila saya tidak ingin merusak suasana hati barisan orang yang sedang terburu-buru di loket.  Saya harus menghargai hak orang lain yang sudah tiba lebih awal. Bila ingin di antrian depan, maka saya harus tiba lebih awal.  Berbeda dengan di desa jaman dahulu, bila anda orang yang punya strata tinggi, orang justru maklum bila anda menyerobot minta didahulukan, minta diistimewakan. Walau sekarang orang desa sudah punya keberanian untuk menegur para priyayi yang tidak mau antri,  sikap sosial tetap mereka tunjukkan dengan mendahulukan kaum manula dan jompo.

Bila di desa orang saling menyapa saat bertemu dijalan, di kota orang biasa saling memaki di jalan raya. Pengemudi angkot yang ngetem di lampu lalu lintas justru marah-marah saat diperingatkan petugas DLLAJR. Orang tidak malu sudah berbuat salah. Berbeda dengan kebiasaan di depan loket, dijalan raya setiap orang ingin cepat, tidak ingin terlambat, ingin dapat setoran, tapi tidak perduli dengan orang lain. Hidup menjadi sebuah persaingan tidak sehat. Yang penting saya menang, tidak perduli bagaimana caranya.

Mudah mencari rumah seseorang di desa. Berbekal nama orang yang dicari, syukur-syukur tahu nama orang tuanya, mungkin orang yang anda temui di pos ronda akan berbaik hati menunjukkan arah atau bahkan mengantar anda sampai di tujuan. Di kota? Saya diajari untuk pandai-pandai menilai orang untuk ditanyai. Saya susah dan takut untuk mempercayai orang yang tidak dikenal, menjadi bimbang untuk punya pendapat bahwa pada dasarnya semua manusia adalah baik.

Semoga kehidupan kota menjadikan si Kabayan tangguh, bukan menciptakan si Kabayan bermental preman dan paranoid. Ah seandainya saja setiap orang mau beritikad menjadi orang baik setiap saat, pasti hidup menjadi lebih indah.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline