Lihat ke Halaman Asli

Dokter “Teknisi” Unggul Pelayanan Kesehatan??

Diperbarui: 17 Juni 2015   14:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Penghujung tahun 2014, Indonesia digemparkan dengan jatuhnya pesawatAir Asia Airbus A320-200 diperairan Belitung. Berbagai spekulasi bermunculan terhadap penyebab jatuhnya pesawat tersebut. Banyak faktor penyebab terjadinya kecelakaan pesawat menurut instruktur keselamatan terbang FX Arief Poyuona  disampaikan pada republika.co.id (28/12). Salah satunya adalah masalah teknis pesawat. Dalam hal ini pesawat mengalami gangguan dan terjadi crash sehingga pilot terpaksa melakukan pendaratan darurat di suatu tempat. Kedua masalah cuaca, dimana didaerah tersebut area “cumulus nimbus” atau awan tebal. Jimmy Haryanto dalam tulisannya juga menyebutkan bahwa seorang pilot asing yang tidak disebutkan namanya menganalisis secara pribadi bahwa pilot yang sudah sangat berpengalaman itu, pesawat saat memasuki “cumulus nimbus” kemungkinan mengalami keadaan dimana anti pembekuan (anti-icing-device) sudah bekerja dengan baik, namun pipa statis dan dinamis (static and dynamic pipes) terpengaruh dan instrument anemometric tidak berfungsi dengan baik.

Tubuh manusia ibarat badan pesawat terbang yang mempunyai organ-organ vital untuk kehidupan. Jaminan kesehatan dan keselamatan tentunya terletak pada dokter “teknisi” yang andal sebagaimana teknisi pesawat terbang. Oleh karena itu penting bila “teknisi” ini mempunyai kompetensi yang sempurna untuk bekerja secara maksimal dalam membantu keselamatan pasien. Kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggungjawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas dibidang pekerjaan tertentu (SK Mendikbud No.045/U/2002-pasal 21). Kompetensi sendiri mempunyai tingkatan atau urutan yang harus dipenuhi oleh seorang profesional seperti dokter. Kompetensi terdiri dari kompetensi utama, kompetensi pendukung, kompetensi lain yang bersifat khusus dan berhubugan dengan kompetensi utama. Elemen-elemen kompetensi terdiri atas landasan kepribadian, penguasaan ilmu dan keterampilan, kemampuan berkarya, sikap dan berprilaku dalam berkarya menurut tingkat keahlian berdasarkan ilmu dan keterampilan yang dikuasai dan pemahaman berkaidah berkehidupan bermasyarakat sesuai dengan pilihan keahlian dalam berkarya.

Seseorang yang ingin menjadi dokter harus memenuhi berbagai macam persyaratan untuk memenuhi syarat bahwa dia mempunyai kompetensi. Syarat pertama adalah dia harus mengikuti pendidikan kedokteran dasar sebagai pendidikan universitas. Pendidikan dasar ini terdiri dari 2 tahap yaitu tahap sarjana kedokteran dan tahap profesi kedokteran. Tahap profesi kedokteran adalah suatu pekerjaan kedokteran yang dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan dan kompetensi melalui pendidikan yang berjenjang, serta kode etik yang bersifat melayani masyarakat sesuai UU No. 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran. Setelah seorang dokter lulus dari tes kompetensi maka diberikan kepadanya sertifikat kompetensi yang merupakan syarat dokter tersebut untuk memperoleh surat tanda registrasi dokter. Surat Tanda Registrasi Dokter ini diterbitkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia dan berlaku selama 5 tahun.

Namun menjadi pertanyaan mengapa masih banyak mal praktek pada dokter?

Diterapkannya peraturan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menuntut kemampuan dokter dalam melayani pasien lebih paripurna. Namun banyaknya kasus mal praktek baik itu kasus salah diagnosa maupun kasus penelantaran oleh dokter karena tidak mau menerima pasien JKN menjadikan keragu-raguan akan kompetensi dokter itu sendiri. Berikut sederet peristiwa diduga mal praktek yang sudah terjadi selama tahun 2014:

1.Alfiawan (19) mahasiswa Universitas Muhammadiyah Kendari. Meninggal dunia setelah di operasi Usus Buntu di Rumah Sakit Prayoga Kendari (Suara Kendari.com) (28/1/14).

2.Harun (35) warga bogor. Menjalani operasi pengangkatan pen di kaki kanan pada tanggal 1 April 2014 di Rumah Sakut Cipto Mangunkusumo. Ternyata sisa besi pen masih tertinggal sepanjang 5 cm dan kaki kanannya tidak dapat berfungsi secara normal pasca operasi (Tempo.com) (30/5/14).

3.Sepia Rizkiani (18 bulan). Divonis dokter tidak bisa melihat selamanya. Padahal sebelum dibawa ke sebuah rumah sakit di Kota Cimahi Jabar, matanya masih normal. (Tempo.com) (17/7/14).

4.Dasril Ramadhan (15 Tahun). Mengalami kecelakaan kakinya patah, setelah dioperasi di Rumah Sakit Siloam kemudian melakukan perawatan selama seminggu kaki pasien tidak kunjung membaik bahkan ditemukan belatung. (Kabar6.com) (27/8/14).

5.Alfiah (72 Tahun) meninggal dunia setelah ditolak di RSUD Kota Bogor.

6.Erma mengalami kesalahan diagnosa oleh Rumah Sakit Graha Husada dimana disebutkan diagnosa Appendix. Namun karena pelayanan tidak memuaskan suami memindahkan pasien ke RS. Mardi Rahayu. RS. Mardi Rahayu menyatakan bukan appendix tetapi pembengkakan kandung kemih yang menimbulkan gangguan dan mengarah pada liver. (Mediajepara.com) (27/12/14).

Menurut ketua umum IDI Dr. Zaenal Abinin rendahnya kompetensi dokter disebabkan beberapa hal seperti masih ada 2.500 dokter gagal tes kompetensi, tingginya kuota lulusan dari jalur undangan, banyaknya fakultas kedokteran tidak imbang dengan dosennya, perizinan mendirikan fakultas kedokteran cukup mudah hanya berdasarkan kemenrisktek Dikti tanpa melibatkan kemenkes, persaingan yang ketat pada fakultas kedokteran favorit.

Bagaimana mengatasi permasalahan ini?

Perbaikan harus dimulai dari hulu, yaitu batasi jalur kuota undangan karena penilaian hanya berdasarkan rapor  tidak menunjukkan kualitas siswa secara nyata. Batasi pendirian fakultas kedokteran dengan memperketat persyaratan izin mendirikan. Memberikan kesempatan kepada generasi bangsa yang benar-benar memenuhi persyaratan untuk masuk ke fakultas kedokteran dengan memberi subsidi penuh bagi yang tidak mampu. Tingkatkan komitmen bersama antara Kemenrisktek Dikti dengan Kemenkes dalam mewujudkan tenaga dokter yang berkualitas. Berikan kesempatan kepada generasi bangsa yang ingin mengabdi menjadi pengajar atau dosen kedokteran, berikan jalan bagi mereka untuk mewujudkan cita-cita dengan cara memberikan kesempatan untuk menimba ilmu yang lebih dalam agar mereka mampu mencetak dokter-dokter baru yang kompeten dan mampu bersaing dengan dokter-dokter lulusan dari luar negeri. Dan yang tidak kalah penting, masukan mata kuliah etika dan budi pekerti sebagai mata kuliah wajib bila perlu buat menjadi 3 SKS. Etika dan budi pekerti membentengi calon-calon dokter dari sifat anti sosial, tidak emphaty dan bisnis oriented seperti yang banyak kita temui akhir-akhir ini.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline