Lihat ke Halaman Asli

Diary untuk Bapak

Diperbarui: 11 September 2023   22:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Pah, bahkan saat tulisan ini baru di beberapa kata, percayalah tangis ini sudah menjadi-jadi. Maaf pah kalau anak perempuan papah tidak sekuat  yang papah liat setiap hari. Entahlah pah, entah tulisan ini harus aku mulai dari mana. Entah dari kata maaf atau terima kasih. Mungkin akan aku mulai dengan bercerita saja, hal yang ingin sekali aku lakukan seperti teman-temanku  yang lain, yang mampu melakukannya bersama orang tua mereka.

                Pah, aku sangat bersyukur sekali dengan semua cinta dan kasih sayang yang aku dapat dari kalian orang tuaku. Meski aku tau caranya sedikit berbeda dengan yang lain, tapi aku sadar betul bahwa keringat yang puluhan tahun kau curahkan bersama dengan mamah adalah bukti cinta yang tiada pernah sanggup kami ganti dengan apapun sebagai anak, kecuali dengan  bakti kami, istighfar kami untuk kalian sampai nanti kelak.

                Aku sadar, engkau dan mamah sudah begitu keras mendidik kami agar menjadi yang terbaik, tapi mungkin yang berhasil dan mampu membuatmu dengan mamah bangga adalah pencapaian abang yang harum sekali. Sementara aku, hanyalah buih yang habis jua seiring angin. Sedari dulu kuusahakan maksimal dalam usaha, meski hanya bantuan tenaga yang bisa aku berikan. Sedangkan dari segi materi? Hampir mustahil. Sekedar bisa beli 1 strip kecil obat flu saja, aku bisa sebahagia itu.

                Pah, sedari perjalanan aku kecil menuju dewasa, ku dapati aku hanya tumbuh menjadi perempuan yang biasa saja dan tidak hebat. Apa aku layak menjadi anakmu meski tidak membanggakan? Aku tumbuh jadi wanita yang tidak cantik pah, bahkan bukan wanita yang berpenampilan menarik, aku jadi anak perempuan yang bahkan tidak tau bagaimana menggunakan alat makeup, apa papa malu jika nanti berjalan denganku yang kusut ini? Pasti tidak!! Aku yakin.

                Pah, ternyata dewasa tidak semenyenangkan mimpi kecilku dulu. Banyak hal yang harus aku pendam sendiri. Setidak sukanya aku menganggur selama 6 tahun harus aku tutup dengan senyum, mengkhayal kapan kerja biar bisa bantu keluarga eh setelah kerja, aku malah tidak bisa berbuat banyak. Paling banyak hanya bisa berangan-angan kapan aku lepas dari perasaan sekaligus keadaan yang sama sekali tidak aku harapkan begini.

                Aku jadi anak perempuan yang kata banyak orang, mudah sekali meledak. Aku emosianal, cepat marah, tapi juga cepat sekali menangis. Perihal menangis, andaikan papa tau, tangisku sudah sering seperti menangisi orang yang sudah meninggal. Padahal apa-apa yang kutangisi seringnya abai dan membatu. Entah itu barang atau makhluk. Iyah, makhluk. Papah tau kan maksudku? Iya, ini tentang perasaanku. Ada beberapa pria yang pernah mampir di hati ini. Dan ada yang masih bertahan sampai hari ini.

Pah, beberapa pria itu, ada yang pernah menjadi bunga mekar sebelum layu dan membusuk. Ada yang pernah bak jarum suntik yang kukira melepas obat dalam tubuh, nyatanya malah racun yang membuatku kewalahan untuk sembuh. Iyah sembuh. Karena trauma-trauma yang diberikan cukup membuat luka besar yang menganga. Dan untuk yang masih bertahan, ia pernah bertemu dan mencium tanganmu, lalu apa yang kau rasakan dari tangannya? Apa tangannya dapat menangkap percayamu? Apa tangannya mampu mengganti dekapan dan do'a-do'a yang tangan papa langitkan setiap saat?

Pah, bagaimana caranya aku Percaya? Setelah percayaku habis dibakar dusta sebelumnya? Bagaimana caranya aku bersabar saat sabarku dulu dibalas khianat? Pah, bagaimana aku bisa menata kembali semua perasaan berantakan? Semua trauma? semua kegagalan dan tidak merusak lagi apa yang aku bangun sekarang? Aku kelelahan pah. Fisikku, mentalku, semua membutuhkan dokter. Aku sudah pelan-pelan berobat, aku sudah pernah konsultasi dengan psikiater. Semua usaha demi kebaikan diri sudah aku lakukan dalam diam.

Nyatanya aku tidak pernah kuat!!! Aku tidak bisa sekuat papah dalam diam, Sekuat apa mental dan fisik papah sedari dulu itu? Apa hanya pria yang harus punya punggung dan tubuh yang sekuat itu? Papah pasti pernah kelelahan juga kan? Bagaimana cara mengatasinya? Saat mungkin papa ingin berhenti sejenak? Bagaimana caranya papah bertahan dibalik lusuhnya baju dan lelah tubuh saat pulang mengajar tapi masih siap malam hari di rumah melanjutkan kerjanya? Tidak mungkin hanya sekedar motivasi dari mamah dan hanya untuk senyum keluarga. Tapi lebih dari itu, demi hidup kita semua kan pah? 71 tahun kau hidup di dunia ini dan 37 tahun lebih kau mengabdi di dunia pendidikan dengan segala baik buruknya adalah bukti.

Papah bukan hanya milik kami, papah milik ribuan murid-murid papah selama ini. Membagi dirimu untuk semua itu membuat aku bangga. Teramat bangga. Pun di usia senjamu sekarang adalah hal yang paling menakutkan jika melihatmu diinfus, disuntik. di usg, di rekam jantung, di rontgen dll seperti tempo hari. Pah, tepat di 71 tahunmu hari ini, tak ada kuasaku selain meminta pada Allah-ku untuk memberimu nafas sampai nanti. Sampai kami membawamu di hari engkau berdiri di depan semua orang untuk menikahkan anak-anakmu, yang ku tau itu adalah harapmu di usiamu yang saat ini.

Maaf, maafkan kami yang begitu lama dalam mewujudkan mimpi-mimpi dan harap-harap yang mekar dalam kedalaman diam yang tidak pernah mampu kita selami. Semoga do'amu sepanjang nafsmu dalam tiap sujud-sujud itu. Selamat memasuki usia baru pah, usia yang semakin emas, meski dengan segala kurang dan lebih yang masih tersisa. Tetaplah berdiri disampingku sampai hari dimana kau melepasku dengan menatap siapa yang akan siap menggantikanmu. Sampai kau melihat cucu-cucumu yang sekarang hanya masih dalam anganmu juga angan kami anak-anakmu.

Pah, kau dan mamah tidak pernah kurang 1 apapun bagi kami. Hiduplah terus bersama do'a-do'a kami.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline