Lihat ke Halaman Asli

Memahami Makna Gotong Royong

Diperbarui: 4 April 2017   18:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13934390031298564850

[caption id="attachment_324939" align="alignnone" width="640" caption="Ilustrasi oleh: Saharudin Dae"][/caption]

“Gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua”.

Demikian sepenggal ungkapan pidato Presiden Soekarno untuk menjadikan gotong royong sebagai landasan semangat membangun bangsa. Hal itu disampaikannya kepada seluruh peserta sidang BPUPKI, 1 Juni 1945.

Gotong royong bukanlah pameo asing di negeri ini, sudah sejak dulu para leluhur kita menjadikannya sebagai budaya bangsa. Wujudnya bisa dalam bentuk kerja bakti membangun sarana umum, membersihkan lingkungan, tolong menolong saat pesta pernikahan atau upacara adat, dan bahkan tolong menolong saat terjadi bencana alam. Biasanya bentuk pertolongan yang diberikan berupa bahan makanan, uang, dan tenaga.

Namun, derasnya arus globalisasi menjadikan aktualisasi dari pameo tersebut terseret jauh dari kehidupan masyarakat saat ini, gotong royong menjadi asing untuk disaksikan keberadaannya saat ini. Kita perlu jujur dan tidak lagi berpura-pura menutup mata pada kenyataan hari ini, bahwa gotong royong telah menjadi ‘budaya langka’. Benarkah demikian? Lantas, dimanakah ia kini berada? Mengapa nilai luhur yang pernah menjadi jati diri bangsa kini menjadi asing di negerinya sendiri?

Untuk menjawabnya, mari kita awali dengan membahas subjek dari topik ini terlebih dulu, yaitu manusia. Aristoteles, seorang ahli filsafat Yunani mengemukakan pendapatnya bahwa sebagai mahluk sosial, manusia tidak bisa hidup sendiri. Manusia senantiasa saling membutuhkan satu sama lainnya guna mewujudkan keselarasan hubungan antara sesama anggota masyarakat lainnya. Artinya, di dalam setiap diri manusia pasti terdapat jiwa sosial, atau naluri saling membutuhkan satu sama lain. Dari urusan lahir hingga urusan liang lahat, manusia tidak bisa mengurusnya seorang diri. Hal inilah yang menjadi fitrah dari setiap manusia sebagai individu sekaligus mahluk sosial. Dengan demikian, paham individualisme yang selalu melihat segala hal dari kacamata ‘aku’, atau menonjolkan ego pribadi tentu tidak sesuai dengan fitrah manusia sebagai mahluk sosial.

Pudarnya Budaya Gotong Royong

Seiring berjalannya waktu, semangat kebersamaan pasca kemerdekaan Indonesia seolah terpinggirkan, dikucilkan atau disudutkan hanya kepada penduduk di wilayah pedalaman yang jauh dari pusat kota. Seolah istilah gotong royong menjadi ‘frasa kampungan’ bagi sebagian masyarakat, khususnya masyarakat kota. Masyarakat kota cenderung mengandalkan dinas kebersihan untuk urusan kebersihan atau satpam/hansip untuk urusan keamanan lingkungan. Sehingga gotong royong seolah hanya cocok diterapkan di wilayah perkampungan saja, sedangkan masyarakat kota tidak perlu lagi menerapkannya.

Salah satu sebabnya adalah adanya miskonsepsi dari sebuah istilah populer “modernisasi”. Istilah modernisasi sepatutnya membantu tercapainya tujuan bersama, bukan melahirkan para individualis yang hanya selalu mengedepankan ego sesaat mereka. Apakah itu ego dalam bentuk mengejar kepuasan materi, seksual dan gengsi (red: posisi/jabatan), pastinya ketiga hal itu tidak akan pernah terpuaskan. Ibarat menyiram bara api dengan minyak tanah yang hanya akan membuat api menjadi lebih besar, seperti itulah para manusia individualis mengejar tujuan hidupnya yang tidak pernah terpuaskan.

Manusia yang belajar dari pengalaman hidupnya pasti akan menemukan bahwa hidup bermasyarakat secara damai dan penuh keselarasan adalah suatu kebutuhan yang kemudian akan mendatangkan keuntungan bagi dirinya. Mengutip pendapat Umar Kayam di majalah Prisma No. 3 Th XVI 1987:

Bahwa sejak manusia bergabung dalam suatu masyarakat, agaknya keselarasan menjadi suatu kebutuhan. Betapa tidak, ketika pengalaman mengajari manusia hidup bermasyarakat jauh lebih menguntungkan, efisien dan efektif daripada hidup soliter, sendirian, maka pada waktu itu pula manusia belajar untuk menenggang dan bersikap toleran terhadap yang lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline