Baru baru ini diselengarakan Boao Forum For Asia (BFA) di Hainan Tiongkok. Forum ini merupakan pertemuan antar para pemimpin pebisnis dan intelektual di Asia dan negara negaranya sekitar termasuk Indonesia. Dalam pertemuan ini kembali Tiongkok mengemukakan gagasan One Belt One Road dalam mempromosikan kerjasama ekonomi di wilayah asia. Dalam rangka mengembangkan ekonominya dalam jangka panjang, Tiongkok menggagas untuk mendirikan suatu lembaga keuangan AIIB (Asian Infrastructure Investment Bank) yang merupakan kelanjutan dari usaha integrasi ekonomi di wilaya asia dan sekitarnya.
Tulisan ini mencoba melihat seperti apa bentuk integrasi ekonomi Tiongkok dan peluang peluang yang dalam konsep One Belt One Road. One road one belt merupakan konsep yang mencoba membangun zona integrasi ekonomi euroasia yang diilhami kesuksesan masa lampau jalur ekonomi sutera. Project ini akan membangun jalur ekonomi kerjasama Tiongkok ke Eropa melalui Asia tengah dan beberapa negara ASEAN. Untuk mewujudkan rencana project ini didirikan lembaga keuangan seperti AIIB dan dana silk road. Negara- negara yang telah mendaftar sebagai penyumbang dan pendukung AIIB yang dikomandani oleh Tiongkok ini meliputi negara negara di asia, seperti India, Jepang, Korea bahkan negara eropa seperti Jerman dan Inggris. Pendirian ini sempat membuat Amerika khawatir akan menjadi tersaingi dominasinya di perekonomian global melalui lembaga keuangan global yang dimilikinya seperti IMF dan World Bank.
Menurut data dari ADB, infrastruktur di Asia sampai dengan tahun 2020 membutuhkan dana sekitar 8 trilyun USD. Untuk mewujudkan dan mendanai gagasan jalur ekonomi sutra tersebut didirikan lah konsorsium perbankan ini. Infrastruktur yang akan dibangun pada jalur ini meliputi jalur kreta api, jalan toll, jembatan , pelabuhan, energy, pembangunan kawasan industri dan jaringan internet. Dengan adanya project ini akan dapat memasarkan produk industri manufaktur Tiongkok yang sdh over supply. Produksi manufaktur Tiongkok sangat berlimpah sementara demand tidak berubah. Hal ini menyebabkan pertumbuhan ekonomi Tiongkok menurun beberapa tahun terakhir yang masih mengandalkan sektor manufaktur untuk dieksport. Dengan adanya jalur ekonomi sutra baru (New Economy Silk Road) tersebut diharapakan akan menghasilkan GDP sebesar 2.1 trilyun USD atau 29 % dari GDP secara global.
Tahun 2015 Tiongkok menetapkan pertumbuhan ekonomi sebesar 7 %, meskipun mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi dibandingkan pertumbuhan ekonomi sekitar 10 % tahun 2010, perekonomian Tiongkok masih merupakan penyumbang yang signifikan dalam hal pertumbuhan ekonomi global setelah Amerika. Ketidakseimbangan pertumbuhan ekonomi(unbalance economy growth) Tiongkok yang mengandalkan sektor perdagangan luar negeri, eksport, dan pertumbuhan komsumsi dan investasi yang tidak seimbang dibandingkan dengan pertumbuhan eksport. Kelesuan ekonomi global yang ditandai dengan perlambatan ekonomi Amerika dan Eropa yang menurun dan bahkan minus, membuat ekspor Tiongkok juga yang menurun yang berdampak pada penurunan GDP negara tersebut. Amerika dan Eropa merupakan tujuan eksport terbesar Tiongkok. Perlambatan ekonomi di benua tersebut membuat Tiongkok mencari alternative lain untuk menjaga kestabilan pertumbuhan ekonomian, dengan membangun integrasi ekonomi kawasan Eropa Asia dan Afrika diharapakan dapat memasarkan output dari produksi industrinya yang overkapisity. Kestabilan dan pertumbuhan perekonomian adalah hal yang selalu dijaga oleh pemerintah untuk meredam dan menjaga kondisi dalam negeri mereka tetap stabil.
Pertanyaan selanjutnya untuk Indonesia adalah apa dampak integrasi ekonomi ini, apakah menguntungkan untuk ikut bergabung dengan integrasi ekonomi ini, serta bagaimana dengan konsep pusat negara maritime dunia yang dicanangkan pemerintahan saat ini sebagai program utamanya. Kunjungan kenegaraan dan sekaligus menghadiri forum Boao ini, menunjukkan bahwa pemerintah memandang bahwa project One Belt One Road ini sangat penting dan berpengaruh terhadap kepentingan bangsa ini. Untuk mewujudkan sea toll, atau maritime economy road, dari sabang sampai merauke tentunya membutuhkan pembangunan infrastruktur baik itu pelabuhan, kapal, kawasan industry, energy tentunya membutuhkan pendanaan yang cukup besar. Pemerintah dengan anggaran yang terbatas akan kesulitan untuk mewujudkan pembangunan infrastruktu tersebut. Pendanaan dari luar dalam hal ini investor asing untuk ikut membangun infrastruktur tersebut sangat tepat. Dengan menjadi anggota pendiri dari konsorsium AIIB, diharapakan dapat menyokong, berbagi, kerjasama regional dikawasan ini. AIIB yang merupakan lembaga pendanaan project One Belt One Road ini, akan menjadi besar dan menjadi lembaga berpengaruh di Asia bahkan di arena Global. Hal ini dapat dilihat dari kekawatiran negara Amerika, AIIB akan menjadi pesaing lembaga keuangan yang mereka kuasai dalam hal ini IMF dan World Bank. Pembangunan infrastruktur sangat penting untuk bisa meningkat pertumbuhan ekonomi dan mewujudkan pemerataan pembangunan di Indonesia. Kondisi pelabuhan, jalan, pembangkit listrik, kapal yang tidak layak akan membutuhkan pembangunan dan perbaikan. Integrasi ekonomi ini akan menjadi salah satu alternative pemerintah pembiayaan yang selama ini selalu berkiblat ke negara barat. Kekuatan dan dominasi Tiongkok sebagai negara superpower yang mulai muncul dimana selama ini didominasi oleh Amerika dan sekutunya dapat menjadi alternative pemerintah untuk pendanaan pembangunan nasional khususnya menjadikan Indonesia sebagai pusat maritim. Pemerintah harus mendorong dan mendukung investasi FDI Tionkok yang selama ini masih didonominasi oleh Amerika, dan Jepang. Program One Belt One Road Tiongkok ini akan menjadi semacam kawasan perdagangan bebas yang sangat besar, mengingat negara-negara besar yang terlibat didalamnya meliputi Rusia, Jepang, India, Korea Selatan, negara negara pecahan Unisoviet dan bahkan Eropa.
Swando Sirait DUFE Dalian China
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H