Lihat ke Halaman Asli

Satrio Wahono

magister filsafat dan pencinta komik

Filsafat Wajah Emmanuel Levinas, Justifikasi Filosofis Bagi Pembelian ORI

Diperbarui: 4 Februari 2025   16:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto filsuf Emmanuel Levinas (sumber: wikipedia)

Pemerintah belum lama ini merilis Obligasi Negara Ritel (ORI) seri ORI027T3 dan ORI027T6 sebagai tawaran investasi kepada masyarakat. Definisi ORI sendiri adalah salah satu instrumen Surat Berharga Negara (SBN) yang ditawarkan kepada individu atau perseorangan Warga Negara Indonesia melalui Mitra Distribusi di Pasar Perdana (www.kemenkeu.go.id). 

Sebagai pemegang obligasi, saya bisa mendefinisikan secara lebih teknis bahwa ORI adalah surat utang yang diterbitkan negara dalam rangka mengumpulkan dana dari warga negara untuk keperluan pendanaan fasilitas-fasilitas umum atau publik, seperti mendanai pembangunan infrastruktur, penanganan bencana, dan lain sebagainya. Sebagai imbalan, masyarakat investor akan  diberikan kupon yang akan dibayarkan secara berkala serta dikenai pajak 15 persen. Adapun dana pokok kita akan dikembalikan utuh pada masa akhir tenor obligasi.

Dengan kata lain, membeli ORI sebenarnya suatu bentuk investasi sekaligus kontribusi bagi warga negara untuk membantu upaya pembangunan yang sedang dijalankan pemerintah. Bahkan, secara filosofis, pembelian ORI secara etis terjustifikasi apabila kita menengok konsep Wajah dari filsuf Emmanuel Levinas. 

Merujuk bebas pada kata-kata Levinas sendiri, seorang pribadi ketika berhadapan dengan pihak liyan haruslah berperilaku seakan-akan ia menatap Wajah yang meniscayakan dirinya tunduk dan mengabdi pada Wajah tersebut (Lihat K. Bertens, Fenomenologi Eksistensial, Gramedia, 1986). Bagi Levinas, Wajah adalah Orang Lain yang bukan merupakan seseorang dalam suatu konteks. Maksudnya, Wajah adalah sosok universal yang memerintahkan individu pemandang wajah menahan diri melakukan perbuatan tidak etis terhadap dirinya (Pihak Liyan).  

Bahasa gampangnya, etika keliyanan menganjurkan sikap takzim terhadap sesama manusia, meskipun dia berbeda, karena di situlah landasan manusia untuk hidup etis dan menganyam dunia yang harmonis. Tanpa rasa khidmat terhadap perbedaan, manusia melebur Yang Beda menjadi Yang Sama (The Same), sehingga tak akan ada dinamisme, pengayaan, dan kemajuan umat manusia. Inilah yang disebut filsuf lain, Karl Jaspers, sebagai kenyataan bahwa manusia hanya menemukan kemungkinan menyelenggarakan
komunikasi eksistensial (Fuad Hassan, Berkenalan dengan Eksistensialisme, 1973) dalam kehidupan bermasyarakat.

Budaya kewargaan

Dari sini, pendapat Levinas yang juga diperkuat oleh Jaspers meniscayakan warga negara untuk memupuk budaya kewargaan (civic culture). Inilah bentuk kebudayaan masyarakat madani atau kewargaan (civil society) yang toleran, menjunjung tinggi kebebasan yang bertanggung jawab (keseimbangan antara hak asasi manusia dan kewajiban asasi manusia), dan mengedepankan asas supremasi hukum (rule of law) alih-alih kekerasan dalam memecahkan segala permasalahan.

Selain itu, masyarakat kewargaan dengan budaya kewargaan yang baik adalah mereka yang mementingkan res publica alias kepentingan bersama. Setiap masalah dicari jalan keluarnya lewat diskusi tukar pikiran yang bebas tekanan dalam ruang-publik (public sphere) dengan semangat saling belajar dan menenggang perbedaan pendapat. 

Maka itu, salah satu wujud budaya kewargaan yang baik adalah memberikan dukungan kepada segala ikhtiar yang baik dari pemerintah yang sudah diberikan mandat untuk menata kehidupan masyarakat. Di sinilah, warga negara yang membeli ORI berarti sudah menunjukkan budaya kewargaan yang baik karena sudah ikut membantu pemerintah dan otomatis juga membantu sesama masyarakat yang liyan sebagai manifestasi Wajah ala Levinas. Akan tetapi, pemerintah juga punya tanggung jawab etis untuk memastikan dana dari masyarakat investor tidak disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau golongan. Kalau itu terjadi, oknum pemerintah yang melakukan itu berarti telah melakukan dosa moral atau kesalahan etis maupun pidana yang patut dihukum berat. 

Terakhir, uraian di atas bukanlah bermakna bahwa warga negara yang tidak membeli ORI itu tidak baik. Budaya kewargaan bisa mengambil berbagai wujud lain di luar pembelian ORI, seperti: kepatuhan melaporkan SPT pajak, ikut menjaga keamanan masyarakat, dan lain sebagainya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline