Perjalanan demokrasi bangsa kita sejauh ini masih memprihatinkan. Lihat saja ulah sejumlah elit bangsa yang terbelit dalam jejaring oligarki dan gagal menanggapi berbagai permasalahan publik. Juga, mentalitas korup banyak elit oligarkis yang sama. Belum lagi kondisi ekonomi yang tidak menggembirakan ketika angka pertumbuhan ekonomi moderat ternyata tidak disertai pemerataan, terbukti dengan rasio Gini Indonesia yang 0,381. Apalagi ini dibarengi mulai naiknya harga kebutuhan pokok seperti beras, telur, dan minyak goreng dan juga bahan bakar.
Wajar jika timbul satu fenomena menggelitik di akar rumput. Yaitu, mulai timbul kerinduan akan zaman 'normal' di bawah pemerintahan Presiden Soeharto pada masa Orde Baru. Disebut 'normal' karena harga bahan bakar dan kebutuhan pokok murah serta korupsi tidak merambah ke mana-mana hingga tingkat bawah. Satu bukti nyata kerinduan ini bisa dilihat dalam begitu banyaknya meme Presiden Suharto, baik di bak-bak mobil truk antarkota maupun media sosial, dengan tulisan "Masih lebih enak zaman saya, toh?"
Meski terkesan remeh, fenomena ini berpotensi menyimpan dampak negatif, yaitu berupa munculnya ketidakpercayaan terhadap demokrasi dan prospek munculnya pemerintahan fasistis.
Ancaman berkembangnya fasisme di tengah sistem demokratis bukan pepesan kosong. Fasisme bisa dipicu oleh kesulitan ekonomi. Logikanya, dalam situasi ekonomi sulit, masyarakat diliputi rasa kalut. Sehingga, kepercayaan mereka pada proses demokrasi, apalagi jika kesulitan ekonomi itu akibat ulah para elit, kian terkikis. Kemudian, situasi ekonomi sulit menimbulkan kaum pengangguran yang martabatnya akan turun karena tak lagi memiliki penghasilan. Inilah 'massa mengambang' yang menjadi basis empuk fasisme mengingat keseragaman fasisme memberikan harga diri baru bagi mereka.
Pendeknya, fasisme muncul di negara yang mulai mempraktikkan demokrasi tapi tidak mampu memenuhi impian yang dijanjikan demokrasi itu. Merujuk Fareed Zakaria dalam The Future of Freedom (2007), inilah kondisi yang disebut sebagai demokrasi iliberal.
Contoh paling konkret dari wawasan teoretis di atas adalah bisa berjayanya partai fasistis Nazi pimpinan Hitler di Jerman (1933 -- 1945). Merujuk Charles Freeman dalam The Rise of the Nazis (1998), Nazi bisa mengobrak-abrik tatanan Republik Weimar Jerman yang demokratis karena rakyat Jerman kala itu merasa geram akan krisis ekonomi di sana. Kesulitan ekonomi menimpa mayoritas rakyat akibat imbas Depresi Besar AS pada 1929 dan Perjanjian Versailles yang mewajibkan Jerman membayar kompensasi perang akibat Perang Dunia I. Karena itulah, rakyat menyambut baik seruan Hitler untuk menolak Perjanjian Versailles, memberikan kesejahteraan kepada rakyat, dan menggantikan demokrasi dengan pemerintahan kuat yang berdedikasi membangkitkan kejayaan Jerman.
Maka itu, Sutan Sjahrir mewanti-wanti akan bahaya fasisme dalam peralihan menuju demokrasi. Dalam Perjuangan Kita (1945), Sjahrir mengingatkan watak fasisme sejatinya sudah tertanam di alam pikir rakyat kita yang tercengkeram feodalisme dan bersekutu erat dengan tradisi kolonial Belanda plus watak militeristis-fasis Jepang.
Melanjutkan analisa Sjahrir, ketika terjadi kegagalan demokrasi, perjalinan ketiga arus pikir itu membuahkan kebimbangan pencarian identitas dalam diri masyarakat, yang lantas menganut mitos Ratu Adil (mileniarisme) dengan mencari identifikasi pada sosok orang kuat. Ketika figur orang kuat itu muncul, biasanya dari kalangan militer atau berwatak militer, tinggal menunggu waktu bagi satu masyarakat untuk terperosok menjadi fasistis.
Jadi, jika para elit pemimpin dalam demokrasi gagal memanfaatkan demokrasi untuk pencapaian tujuan liberal demi kepentingan rakyat dan justru sibuk dengan berbagai kompromi politik guna memperkaya diri plus membagi-bagi kue kekuasaan, itu berpotensi menimbulkan anarki. Dan jika anarki terjadi, akan terbuka ruang bagi masuknya golongan bersenjata ke dalam politik untuk menciptakan kestabilan. Terciptalah satu sistem politik fasistis berjubah demokrasi (pseudo-demokrasi) ala Orde Baru, yang sayangnya dirindukan kembali oleh sebagian dari kita.
Itulah yang membayang di Indonesia saat ini. Sebab, demokrasi belum mampu mengangkat taraf hidup rakyat kebanyakan dan hanya menggemukkan pundi-pundi harta elit penguasa dalam jejaring oligarki dan dinasti. Tentu, kita yang masih meyakini demokrasi tak ingin melihat kembalinya militer berpolitik. Apalagi, militer Indonesia sekarang sudah "kembali ke barak". Namun, ancaman militer kembali berpolitik bukan isapan jempol. Maklum, militer masih memiliki infrastruktur untuk melakukan intervensi politik. Juga, doktrin TNI sebagai penjaga negara-bangsa (state-guardian) bisa menjustifikasi TNI untuk merespons ancaman terhadap keutuhan Negara.