Dalam teori ketahanan nasional, kebudayaan tergolong salah satu dari Trigatra (tiga elemen): lokasi geografis strategis, jumlah penduduk yang besar, dan keanekaragaman sumber daya alam dan budaya (Winarno, Pendidikan Kewarganegaraan, Rineka Cipta, 2013). Karena itu, kebudayaan yang kuat akan memperkuat ketahanan nasional guna mencapai tujuan nasional di level domestik maupun internasional. Terkait status Indonesia sebagai warga global, salah satu tujuan nasional dalam konstitusi kita adalah "ikut menciptakan ketertiban dunia". Nah, dalam konteks kebudayaan, Indonesia artinya harus memberikan kontribusi positif bagi pembangunan peradaban dan kebudayaan dunia. Dan, negara kita punya modal untuk itu berupa teori kebudayaan Pancasila.
Dua Teori Besar
Dalam khazanah ilmu budaya, ada dua teori besar terkait penataan kemajemukan suatu negara. Pertama, teori melting pot. Menurut teori ini, perbedaan nilai dan kebudayaan yang ada di dalam masyarakat harus menginduk pada satu kebudayaan yang lebih umum dan lebih besar serta mencakup semua kebudayaan yang ada.
Sebagai contoh, pada masa Orde Baru kita mengenal kebudayaan Jawa sebagai kebudayaan dominan yang dipaksakan sebagai referensi utama bagi budaya-budaya lain. Alhasil pada zaman itu, semua pejabat dari etnis mana pun harus mengetahui idiom Jawa ketika berhadapan dengan kekuasaan tertinggi, seperti rasa segan mengkritik terhadap atasan (ewuh pakewuh), keharusan melaksanakan perintah penguasa (sabda pandhita ratu), dan lain sebagainya. Kelebihan teori ini adalah menciptakan kestabilan dan meminimalkan konflik nilai. Di sisi lain, kekurangannya adalah ia meminggirkan kebudayaan-kebudayaan lain yang sebenarnya memiliki logika kebenarannya sendiri dan punya hak untuk berkembang.
Ada pula kasus kebudayaan China yang harus melebur ke dalam kebudayaan pribumi. Sehingga, warga negara Indonesia keturunan China pada masa Orde Baru diharuskan mengganti nama menjadi nama berbau Indonesia. Juga, meredam ekspresi kultural mereka seperti barongsai, aksara China, dan lain sebagainya.
Kedua, teori salad bowl (mangkuk salad). Berdasarkan teori ini, kemajemukan budaya harus dikelola dengan membiarkan masing-masing budaya berekspresi secara bebas. Karena itu, tidak ada keharusan menjadikan satu kebudayaan sebagai tolok ukur utama. Setiap kebudayaan dianggap memiliki kesahihan dan kebenarannya tersendiri.
Pandangan inilah yang kemudian melahirkan mazhab kebudayaan yang disebut multikulturalisme. Menurut Will Kymlicka dalam Kewargaan Multikultural (terjemahan, LP3ES, 2005), multikulturalisme adalah paham yang mengajarkan bahwa setiap ideologi atau pandangan khas (vernacular) memiliki nilai kebenarannya sendiri yang tidak perlu dicerca.
Teori ini menambal kelemahan melting pot karena memberikan ruang lapang bagi setiap kebudayaan untuk tumbuh. Dan, arah multikulturalisme inilah yang sedang ditempuh Indonesia karena teori melting pot tak lagi sesuai dengan iklim reformasi. Namun, teori ini juga memiliki kelemahan karena berpotensi menyuburkan eksklusivisme komunal yang bisa mengeras menjadi heterofobia. Yaitu, paham yang memusuhi (fobia) pihak yang memiliki pandangan dan nilai berbeda (hetero). Akibatnya, alih-alih mengelola perbedaan budaya secara baik, multikulturalisme justru berpotensi memicu konflik horizontal antarkelompok.
Dalam kasus kontroversi penyelenggaraan Miss World di Bali beberapa waktu lalu, misalnya, kita bisa melihat ada perbenturan eksklusivisme nilai antara mereka yang mengutamakan pandangan agama (eksklusivisme tafsir agama) dan mereka yang bertamengkan kebebasan berekspresi liberal ala Barat (eksklusivisme paham liberal). Jadi, kelompok yang satu saling menganggap sebelah mata terhadap kelompok yang lain. Tergelarlah kemudian potensi konflik seperti yang sering terjadi tidak hanya di Indonesia, tapi juga di berbagai belahan dunia.
Sendi Kebudayaan Pancasila
Di sinilah Indonesia harus kembali pada Teori Kebudayaan Pancasila. Lantas, apakah "Teori Kebudayaan Pancasila" itu? Sebagai awal, mengingat sifat Pancasila yang hierarkis menurut Notonagoro (1951), sila Ketuhanan Yang Maha Esa meniscayakan "Teori Kebudayaan Pancasila" tidak boleh menafikan nilai-nilai etis dari agama. Maka itu, konsep-konsep agama seperti akhlak, takwa, kesalehan, dan lain sebagainya harus mendapatkan tempat dalam "Kebudayaan Pancasila." Berbeda dengan konsep liberal yang menempatkan manusia pada posisi utama (humanisme) dan agama pada posisi sekunder. Juga, berbeda dari sekularisme yang menabukan nilai-nilai agama memasuki wilayah publik.