Meski terkenal sebagai negara agraris dan pertambangan, Indonesia sejatinya adalah negara maritim alias kelautan. Lihat saja, betapa besar potensi laut yang dimiliki Indonesia. Luas lautan kita sebesar 5,8 juta kilometer persegi menyimpan kekayaan luar biasa berupa ikan, minyak, rumput laut, dan lain sebagainya.
Belum lagi fakta betapa laut memiliki fungsi strategis dalam menentukan batas kedaulatan kita dan memersatukan sekitar 17.000 pulau yang ada di wilayah Nusantara. Bahkan, setelah Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957, Indonesia mengembangkan doktrin Wawasan Nusantara yang memandang lautan sebagai aset pemersatu ketimbang pemisah bangsa dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (Winarno, Pendidikan Kewarganegaraan, 2013).
Malangnya, Indonesia justru tampak abai merawat segala potensi berharga tersebut. Eksploitasi berlebih ikan (overfishing) dan hasil laut lain serta cemar dan rusaknya sejumlah aset maritim kita seperti terumbu karang (coral reef) adalah beberapa contoh. Kemudian, ada fakta menggiriskan bahwa setiap tahun jutaan ton ikan di perairan kita dirompak (illegal fishing) dengan jumlah kerugian fantastis. Data FAO saja menunjukkan pada 2019 kerugian akibat illegal fishing di Indonesia mencapai US$23 miliar dollar (www.kompas.com. 23/5/2023)
Artinya, Indonesia sebagai negara maritim sejauh ini belum optimal dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Dan, ini sungguh disayangkan mengingat Indonesia sebenarnya memiliki banyak kearifan lokal yang bisa berkontribusi pada paradigma pembangunan berkelanjutan di bidang maritime. Salah satunya, kearifan suku Bajo.
Suku Penjaga Lautan
Suku Bajo banyak yang tinggal di Sulawesi dan sekitarnya. Mereka umumnya bermukim di perahu. Juga, mereka terkenal selalu berpindah tempat karena kesukaan mereka mengembara, meskipun saat ini sudah banyak suku Bajo yang membangun rumah atau bahkan desa seperti desa Torosiaje Laut di kabupaten Pohuwato, Gorontalo.
Anggota suku Bajo memiliki pengetahuan yang baik tentang lautan dan kebiasaan hidup ikan. Semboyan suku mereka adalah di lao denakangku, yang bermakna 'lautan adalah saudaraku.' Hebatnya lagi, segala kearifan itu sudah terlembaga demikian baik dalam berbagai adat dan ritus yang begitu relevan bagi upaya pembangunan berkelanjutan yang santer digadang-gadang secara global maupun nasional. Setidaknya, ada tiga kearifan lokal suku Bajo yang sangat positif dan bisa diteladani dalam upaya menciptakan pembangunan berkelanjutan.
Pertama, adat Parika. Inilah aturan adat yang memberikan tempat dan kesempatan bagi ikan untuk bertelur. Pada musim ikan bertelur, warga Bajo sepakat untuk membatasi jumlah tangkapan ikan. Tujuannya tak lain tak bukan untuk menjaga supaya ikan di daerah tangkapan tidak punah. Dengan kata lain, adat ini demikian peduli terhadap upaya pelestarian ikan.
Kedua, adat larangan menangkap teripang yang berdiri karena teripang berdiri adalah raja teripang. Sekilas, aturan ini tampak aneh bagi perspektif orang modern. Belakangan, baru ketahuan oleh kalangan ilmuwan bahwa teripang berdiri itu adalah teripang yang sebenarnya sedang bertelur. Artinya, secara tidak langsung, adat larangan Bajo ini ikut menjaga kelestarian teripang karena tidak mengganggu proses perkembangbiakan teripang.
Ketiga, adat Duata. Berdasarkan adat ini, warga Bajo diwajibkan melepas ikan yang jumlahnya sedang berkurang. Sebagai contoh, warga Bajo kerap melepas tuna ketika mereka mendapati jumlah ikan tuna di lautan semakin berkurang. Kembali, adat ini demikian positif dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup tanpa perlu mengorbankan unsur pelestarian alam (natural preservation).