Kehidupan dan gemerlap ekonomi modern yang kita nikmati sekarang sebenarnya bagaikan pedang bermata dua. Di satu sisi, ia menawarkan kemudahan yang jelas tak terbayangkan oleh generasi kakek-nenek kita semisal kemudahan mobilitas melalui mobil dan sepeda motor, kecepatan berkomunikasi via ponsel dan Internet, dan beragam kenyamanan lainnya.
Di sisi lain, modernitas yang sama juga melahirkan dampak samping tak kecil. Salah satunya, kecepatan dan kemudahan hidup yang
dipantik modernitas itu menggerus nilai-nilai budaya leluhur kita di masa lalu, menyudutkan nilai-nilai tersebut ke bilik-bilik sejarah yang berdebu. Padahal, nilai-nilai budaya itu mengandung kearifan alias local wisdom dari Nusantara yang bermanfaat bagi kehidupan harmonis di masa kini maupun di masa depan.
Sebagai contoh, masyarakat Mentawai di pulau Sumatra ternyata memiliki kearifan budaya yang apabila diangkat kembali ternyata berguna baik di aras lokal maupun nasional untuk mengatasi krisis lingkungan seperti pemanasan global dan anomali iklim yang sedang menggejala dewasa ini.
Keharmonisan ciptaan
Tapi mengejutkannya, kearifan lingkungan masyarakat Mentawai itu justru didokumentasikan dengan baik oleh seorang ilmuwan Barat. Dalam bukunya Culture and Spiritual Values of Biodiversity (1999), Darrell Addison Possey mengemukakan bahwa masyarakat Mentawai meyakini bahwa semua ciptaan adalah satu kesatuan menyeluruh yang harmonis. Berdasarkan keyakinan ini, mereka percaya bahwa semua unsur dalam alam, entah itu binatang, tumbuhan, hutan, gunung, batu dan sungai, memiliki ruh atau jiwa. Bahkan lebih dari itu, masing-masing elemen memiliki kepribadian khas lengkap dengan penunggunya yang memiliki karakter tersendiri.
Meski demikian, itu tidak berarti manusia diharamkan untuk memanfaatkan alam, binatang atau tumbuhan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebaliknya, masyarakat adat Mentawai justru bergantung pada binatang dan tumbuhan. Sebab, mata pencaharian utama mereka adalah berburu, menangkap ikan dan mengumpulkan hasil hutan. Hanya saja, semua aktivitas bertahan hidup itu ditempatkan dalam kerangka kesalingterhubungan antar elemen alam dalam sakralitas mereka.
Oleh karena itulah, segala aktivitas tersebut memiliki tabu dan upacara adat-keagamaan pun dibutuhkan demi mengungkapkan sikap hormat terhadap makna kehidupan elemen alam itu sendiri. Artinya, karena setiap elemen alam memiliki jiwa atau hidup, maka pemanfaatan jiwa mereka untuk kepentingan manusia harus disertai semacam "permintaan izin" lewat upacara agama kepada yang
empunya jiwa. Sekaligus, ini menjadi bentuk pengluhuran terhadap alam semesta.
Subsistensi, bukan Eksploitasi
Dengan kata lain, masyarakat adat Mentawai meletakkan relasi ketergantungan manusia pada alam sebagai relasi subsistensi. Maksudnya, penggunaan alam oleh manusia terbatas semata untuk bertahan hidup (subsisten), bukan untuk eksploitasi demi menangguk keuntungan berlebih. Dari perspektif ini, masyarakat Mentawai hanya memanfaatkan alam dalam kadar yang secukupnya saja dan ini tentunya memungkinkan alam yang dimanfaatkan untuk menyempurnakan siklus pembaruan dirinya (renewable) sehingga dapat kembali tersedia untuk digunakan secara proporsional oleh mereka yang membutuhkannya. Terciptalah kemudian suatu susunan rantai makanan dan kehidupan yang harmonis.
Sayangnya, kedatangan modernitas yang bergandeng tangan dengan kapitalisme telah menghancurkan budaya luhur tersebut. Sebagai makhluk yang diasumsikan paling unggul di semesta alam ini, manusia menganggap alam ini tersedia bagi mereka untuk digunakan sepuas-puasnya. Ditambah dengan adagium greed is good (serakah itu baik) paham kapitalisme yang bersendikan semangat modernitas dan kebebasan akal-budi individu, manusia pun berlomba-lomba mengeksploitasi alam demi mengakumulasi kapital (modal) dan laba secara membabi-buta.