Meski sudah menjalani proses reformasi selama hampir 27 tahun, Indonesia masih tertatih-tatih menjalaninya. Bahkan, ada yang mengatakan kita sedang mengalami gerak memutar demokrasi alias democratic u-turn di mana demokrasi justru berjalan mundur. Salah satu buktinya adalah laporan the Economic Intelligence Unit yang mengkategorikan demokrasi kita sebagai cacat (flawed democracy).
Itu menunjukkan demokrasi kita sedang mengidap sejumlah penyakit. Memang dalam lanskap teori politik, demokrasi itu ibarat tubuh yang bisa mengalami penyakit. Berikut beberapa penyakit umum dalam demokrasi berikut kemungkinan obatnya.
Pertama, penyakit dinasti politik yang kerap berjalin dengan "bossisme". Merujuk Leo Agustino (Prisma 2, 2010), dinasti politik adalah "institusi di mana penguasa berupaya meletakkan keluarga, saudara, dan kerabat pada jabatan-jabatan strategis dengan tujuan membangun sebuah "kerajaan" politik di dalam pemerintahan, baik nasional maupun lokal."
Sejatinya, dinasti politik bukanlah fenomena khas Indonesia mengingat Filipina dan Thailand juga punya pengalaman serupa. Bahkan, John Sidel (1999) menawarkan kerangka teoretis 'bossisme', yaitu "calo kekuasaan yang memiliki monopoli atas kontrol terhadap sumber daya kekerasan dan ekonomi dalam satu wilayah yang berada di bawah yurisdiksinya."
Berdasarkan teori ini, Sidel berusaha menjelaskan munculnya tokoh-tokoh kuat dalam politik Filipina dan menemukan bahwa orang-orang berpengaruh itu dikendalikan oleh jejaring para "bos", yang bisa terdiri dari hubungan pertemanan, perkongsian atau kekerabatan. Selanjutnya, Sidel meramalkan bahwa Indonesia akan melihat munculnya dinasti politik bersamaan dengan pemilihan umum kepala daerah (pemilukada).
Ternyata ramalan Sidel terwujud. Kita lihat di berbagai daerah begitu banyak perwakilan dinasti menguasai satu provinsi mulai dari level provinsi sendiri hingga ke level kabupaten/kota. Bahkan, menjangkau juga ke lembaga legislatif masing-masing daerah. Dari kerangka Sidel, kita bisa menganalisa alasan pemilukada dan dinasti politik begitu terkait dalam politik lokal kita. Sebab, para "orang kuat" di level lokal memiliki sumber daya pengaruh, ekonomi, dan kadang kekerasan simbolik dan fisik yang kuat untuk menebarkan jejaring mereka demi mengail suara rakyat pemilih. Sering juga, jejaring itu ditebarkan dengan memanfaatkan politik uang, kesukuan, keklanan dan bahkan agama. Alhasil, faktor kompetensi dan program menjadi urusan kesekian dalam pemilukada karena jejaring para bos yang sesungguhnya lebih banyak bekerja. Akibatnya, "orang-orang kuat" mengelompok menjadi satu jaringan bos yang melakukan penetrasi ke dalam masyarakat, mengatur hubungan-hubungan sosial, mengeksploitasi sumber daya alam dan menekan rakyat (dalam Muhamad Aqil Irham, Demokrasi Muka Dua, KPG, 2016).
Apa obat penyakit dinasti politik? Memperketat syarat anggota dinasti untuk maju dalam kontestasi. Misalnya, mereka diharuskan pernah punya pengalaman di organisasi kemasyarakatan atau politik selama minimal 5 tahun sebelum boleh mencalonkan diri.
Kedua, penyakit kartel yang kerap berjalin dengan oligarki alias kartel-oligarkis. Menurut disertasi Kuskridho Ambardi (Mengungkap Politik Kartel, KPG, 2009), dua ciri utama kartel politik adalah hilangnya peran ideologi partai sebagai faktor penentu perilaku koalisi partai dan sikap permisif dalam pembentukan koalisi.
Sementara itu, oligarki didefinisikan Richard Robison dan Vedi Hadiz (Prisma 1, vol.33, 2014) sebagai "sistem relasi kekuasaan yang memungkinkan konsentrasi kekayaan dan otoritas serta pertahanan kolektif atas konsentrasi kekayaan". Jika kita gabungkan dua konsep tersebut, sistem kartel-oligarkis dalam politik menjadi semacam "sistem di mana kekuasaan politik berada di tangan segelintir kaum kaya sedemikian rupa sehingga partai politik tidak lagi mementingkan ideologi dan bersifat pragmatis (berorientasi hasil dan manfaat bagi elit) dan permisif dalam perilaku mereka." Jelas fenomena ini berbahaya bagi demokrasi. Sebab, suatu sistem kartel-oligarkis akan membuat tidak adanya persaingan partai secara sehat dan memunculkan oposisi semu. Padahal, persaingan sehat dapat mencegah parpol mengeksploitasi sumber daya negara secara beramai-ramai.
Atau, meminjam Mancur Olson (dalam I. Wibowo, Negara dan Bandit Demokrasi, Kompas, 2011), persaingan sehat antarpartai akan mencegah munculnya "bandit pengembara" politik (roving bandits). Diangkat dari studi di Rusia, Olson mendefinisikan bandit pengembara sebagai tipe bandit yang hidup di suatu sistem demokrasi yang masih dalam tingkat konsolidasi alias belum stabil. Penjelasannya: setelah rezim represif runtuh, muncullah para bandit lain berkeliaran dan kadang mengambil wujud sebagai oknum "elit politik baru." Ini menambahkan bandit lama yang memang masih bertahan dalam suatu perubahan politik yang bersifat reformasi alih-alih revolusi (transplacement).