Ada pandangan sekalangan orang yang beranggapan bahwa Islam itu pada hakikatnya adalah agama hukum. Sebab, Islam memang mengandung sejumlah larangan terkait halal haramnya suatu perbuatan atau suatu benda.
Padahal, itu hanya satu dimensi dari Islam. Dimensi lain adalah Islam itu merupakan agama cinta. Dalam artian, Islam sejatinya memandang cinta sebagai satu lan kreatif yang inspiratif, mencerahkan, produktif, sekaligus berguna bagi kemaslahatan umat manusia.
Merujuk tesis master Abdul Halim Rofiie (Cinta Ilahi, Srigunting, Jakarta, 1997), sufi perempuan Rabiah al-Adawiyah adalah orang pertama yang membawa ajaran cinta sebagai sumber keberagamaan dalam sejarah tradisi sufi Islam. Bagi Rabiah, hidup adalah cinta, yaitu cinta terhadap semua manusia, cinta kepada seluruh alam karena dia adalah ciptaan Allah, dan cinta terhadap ketentuan dan takdir Allah karena keduanya adalah ketetapan yang mulia dari Allah. Jadi, cinta ilahi adalah sumber hakiki yang membentangkan seluruh alam sekaligus membentang pada setiap bulir kehidupan.
Oleh karena itu, inti ibadah dalam Islam adalah hubungan cinta hamba dengan Tuhan-Nya dalam bentuk rindu, mesra, dan rida. Adapun tingkatan yang harus dilalui dalam mencapai cinta sejati itu adalah bertobat terus-menerus atas segala dosa (taubat), mengerem nafsu rendah akan materi dan aspek duniawi (zuhud), ikhlas menerima segala kejadian yang menimpa manusia (ridha), selalu bersyukur kepada Allah atas segala hal yang terjadi kepada manusia (muraqabah), dan beribadah tanpa pamrih apa pun selain mengabdi kepada Allah (mahabbah).
Perjalanan cinta dalam Islam berpuncak pada mahabbah, di mana manusia beribadah tidak lagi karena mengharapkan surga atau ingin menghindari neraka. Melainkan, karena sudah terlalu masyuk dalam cinta dan rindunya untuk berjumpa dengan Tuhan.
Di sisi lain, filsuf terkenal kelahiran India sekaligus pendiri negara Pakistan Muhammad Iqbal menyatakan tentang cinta sebagai inti hidup. Bagi Iqbal, merujuk Miss Luce-Claude Matre (Pengantar ke Pemikiran Iqbal, Mizan, 1997), cinta adalah kekuatan yang mengoptimalkan pemenuhan potensi khudi (pribadi) lewat perjuangan mengatasi rintangan alam. Adapun rintangan alam itu mencakup pula masalah-masalah nyata yang terjadi kepada manusia, termasuk permasalahan-permasalahan sosial, seperti: kemiskinan, kelaparan, dan lain sebagainya.
Berjalin berkelindan dengan penekanan Iqbal pada potensi manusia berbasis cinta ini adalah pendapat Muhammad Abduh. Dalam Tafsir Juz Amma (Mizan, Bandung, 1998, hal. 236), Abduh menafsirkan surah Al-Insyirah ayat 5-6: "Karena sesungguhnya bersama dengan kesulitan itu ada kemudahan. Dan sesungguhnya bersama dengan kesulitan itu ada kemudahan." Di sana, Abduh mengatakan Allah mengulangi janji-Nya ini dua kali demi menghilangkan keraguan umat mukmin terhadap janji Allah akan datangnya kemudahan di tengah kesulitan. Asalkan, mereka yang ditimpa kesulitan itu menerapkan satu syarat. Yakni, orang-orang yang dilanda kesusahan itu harus pandai memanfaatkan potensi-potensi (khudi dalam bahasa Iqbal) yang diberikan Allah kepada mereka guna menyingkirkan pelbagai kesulitan itu dari diri mereka.
Terakhir, kita bisa menengok satu lagi pendapat Islam tentang cinta dari Ali Syariati. Menurut Syariati dalam Tugas Cendekiawan Muslim (terjemahan M. Amien Rais, Srigunting, Jakarta, 1996), cinta adalah kekuatan yang punya daya ledak dahsyat karena cinta mampu meruntuhkan penjara ego alias kesombongan manusia. Sebab, cinta sejati membuat manusia rela mendobrak sempitnya kepentingan diri guna mempersembahkan diri untuk kepentingan orang lain. Oleh karena itu, cinta dalam Islam menjadi semangat yang menggelorakan perubahan positif demi kemaslahatan orang lain.
Intisari
Dengan kata lain, jika menyaripatikan pendapat Rabiah, Abduh, Iqbal dan Syariati di atas, Islam ingin menggarisbawahi betapa cinta eskatologis (bersifat ukhrawi atau berorientasi kepada akhirat) kepada Tuhan yang tampak abstrak seyogianya dikonkretkan dalam bentuk cinta, kepedulian, rasa toleransi, dan uluran bantuan materi maupun nonmateri kepada sesama umat manusia, terutama mereka yang mengalami problem-problem konkret lagi terpinggirkan di berbagai aspek, mulai dari terpinggirkan secara ekonomi, sosial, hukum, politik dan budaya. Sebagai pahala tertingginya, kecintaan besar kepada sesama manusia itu akan berbalik kembali menyempurnakan penerimaan manusia terhadap cinta abadi Tuhan. Sehingga, manusia itu akan kian mendekati status insan kamil (manusia paripurna) yang menjadi cita-cita ideal dalam doktrin Islam.